Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

(Cagub Gatot Swandito) Ahok Bukan Si Pitung yang Sulit Dikalahkan

5 April 2016   10:58 Diperbarui: 5 April 2016   11:49 2213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Buat yang tidak percaya kalau saya serius nyagub, cuci muka dulu biar seger mikirnya. Sebagai cagub yang akan melawan Ahok, saya tidak berbeda dengan Yusril Ihza Mahendra, apalagi kami sebagai kompasianer juga berkawan. Saya juga tidak berbeda dengan Ahmad Dhani, Sandiaga Uno, Adhyaksa Dault, dan lain sebagainya.

Saya berani nyagub karena sangat yakin bisa mengalahkan Ahok. Pertama, sejak rilis survei pertama tentang Pilgub DKI saya sudah berbeda dengan media, media sosial, pengamat, dan banyak teman di Kompasiana. Kalau mereka mengatakan Ahok sulit untuk dikalahkan, saya sebaliknya menyatakan Ahok tidak mudah memenangi Pilgub 2017. Kenapa? Karena tingkat popularitas Ahok yang hampir menyentuh 100 % tidak diimbangi dengan tingkat elektabilitas yang masih di bawah 45 %. Jadi, sangat jomplang. Contoh paling ekstrimnya adalah Bang Haji. Bang Haji memiliki popularitas yang sama dengan Ahok, hampir 100 %, tetapi elektabilitasnya hanya 2,5 %. Karenanya meski populer, PKB tidak mencapreskan Bang Haji.

Kedua, ada yang jompang antara elektabilitas dengan dukungan KTP yang berhasil dikumpulkan Teman Ahok. Kalau, katakanlah jumlah DPT DKI Jakarta 7.5 juta. maka, 45 % dari jumlah DPT adalah 3.375.000. Dan ternyata, hanya untuk mencapai 20 % dari 3.375.000, Teman Ahok membutuhkan waktu sekitar 9 bulan (Sebelum Heru diputuskan sebagai cawagub dan formulir dukungan masih berisikan nama Ahok).

Padahal untuk pengumpulan dukungan KTP itu, Teman Ahok nyaris tidak kenal lelah dan tempat. Di mal-mal mereka membuka stan. Setiap CFD mereka mencari dukungan dengan aneka spanduk yang mengampanyekan Ahok. Konon katanya, gang-gang sempit pun dimasuki. Selain itu formulir dukungan KTP pun bisa diunduh lalu dikirim ke Teman Ahok.Bukan hanya itu, setiap orang bisa mengambil berapa saja jumlah formulir dukungan untuk dibagikan kepada pendukung Ahok lainnya yang tidak sempat datang ke Teman Ahok. Toh, untuk mencapai 20 % saja mereka terseok-seok.  

Ketiga, pemilih Jakarta sudah relatif terpolarisasi. Ada kutub Ahok dan ada kutub non-Ahok. Pendukung Ahok jumlahnya sudah stagnan. Sulit bagi Ahok untuk menambah jumlah pendukungnya. Hal ini terlihat pada pengumpulan dukungan. Di situ terlihat jika pendukung Ahok relatif homogen, dalam artian satu keuarga, satu kantor, satu komunitas, dan lainnya. Contohnya, Maudi Kusnaidi dengan suaminya, Karenanya, pendukung Ahok sulit untuk mengajak pemilih lain untuk mencoblos Ahok. Kalau nantinya formulir dukungan yang terkumpul sampai 750 ribu. Paling Ahok hanya sanggup meraih 1,8 juta suara. Kalau golput 30 % atau 2,250.000, artinya, perolehan suara Ahok hanya sekitar 34 %. Angka yang tidak buruk karena angka 34 % itu hampir sama dengan perolehan Jokowi-Ahok pada putaran pertama Pilgub 2012.

Tetapi, angka 34 % itu tanpa dipengaruhi oleh kasus sogok Agung Podomoro kepada M Sanusi. Memang, Ahok belum tentu terlibat dan bisa jadi tidak terlibat sama sekali. Ketapi, karena Ahok dengan bangga mengaku sebagai Gubernur Agung Podomoro maka citra Ahok pun menjadi negatif. Citra negatif Ahok sebagai yang mengaku Gubernur Agung Podomoro inilah yang akan terus dihembuskan oleh lawan-lawan Ahok sejak sekarang ini.

Beruntung bagi lawan-lawan Ahok, kasus sogok Agung Podomoro ini sangat mudah dicerna oleh orang awam ketimbang dugaan korupsi RS Sumber Waras. Dalam kasus sogok Agung Podomoro, penjelasannya sangat sederhana: DPRD disogok oleh Agung Podomoro. Ahok mengaku dekat dengan Podomoro, bahkan dengan bangganya mengaku sebagai gubernur dari perusahaan yang terlibat penyogokan tersebut.

Kalau kemarin pendukung Ahok ada yang menulis Ahok semakin diserang semakin moncer, itu tidak lebih dari pikiran anak kemarin sore. Kenapa? Kalau berkaca dari Pilpres 2014, Jokowi yang sebulan sebelum hari pencoblosan masih berelektabilitas 34 %, sedang Prabowo hanya 15 %. Sebuah selisih yang sangat jauh. Tetapi dengan gencarnya serangan kepada Jokowi, selisih peroleh suara hanya sekitar 6 %. Dari pengalaman Pilpres 2014 itu bisa disimpulkan serangan terhadap Ahok dapat menurunkan elektabilitasnya.

Hanya saja serangan model apa yang tepat diarahkan untuk Ahok. Jelas bukan serangan beraroma SARA. Sebab jika serangan jenis itu yang digunakan, Ahok malah semakin mendapat simpati. Itulah kenapa banyak yang memperhatikan jika kubu Ahok pun giat melakukan serangkaian kampanye SARA.

Serangan yang paing tepat adalah serangan yang sudah lama membuat muak, contohnya kasus sogok Agung Podomoro dengan Ahok yang dengan bangganya mengaku sebagai gubernur dari korporasi penyogok itu. Dan dari Agung Podomoro dengan proyek reklamasinya ini lawan Ahok bisa menarik ke segala macam isu. Isu yang paling mudah untuk dipahami masyarakat adalah soal kesenjangan sosial. Proyek Reklamasi ini hanya menguntungkan segelintir orang, dan itu orang-orang berduit, tetapi menyengsarakan jutaan rakyat Jakarta, terutama nelayan. Jadi, kalau pendukung Ahok menganggap Ahok sebagai Si Pitung, pertanyaannya, sejak kapan Si Pitung menyengsarakan rakyat, dan sebaliknya memperkaya segelintir orang?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun