Pagi hari ini, 27 Februari 2017, aksi teror kembali terjadi di Kecamatan Cicendo, Bandung, Jawa Barat. Menurut sejumlah media, pelaku teror meminta tebusan pembebasan tahanan Densus 88. Peristiwa ini mengingatkan kepada aksi teror yang terjadi di Cicendo pada 11 Maret 1981.
Pada peristiwa yang terjadi 36 tahun silam tersebut, 14 kawanan teroris pimpnan Imran bin Muhammad Zein menyerbu Kosekta 65 Bandung yang berada di Cicendo. Dalam serangan yang dilancarkan lepas tengah malam itu 4 anggota Polri tewas terbunuh. Sama seperti aksi teror yang terjadi pada hari ini, serbuan Imran Cs tersebut bertujuan untuk membebaskan kawan-kawan mereka.
Peristiwa Cicendo yang terjadi pada 11 Maret 1981 itu menjadi awal dari peristiwa Woyla. Saat itu kelompok teroris yang menamakan dirinya Kelompok Jihad membajak pesawat DC-9 milik maskapai Garuda. Pesawat dari Jakarta tujuan Medan yang dipiloti oleh Kapten Herman Rante itu dipaksa oleh lima pembajak untuk meneruskan penerbangan ke Penang Malaysia.
Drama pembajakan Woyla ini memuncak saat pesawat mendarat Bandara Don Mueang, Thailand pada 31 Maret 1981. Saat itu seregu pasukan Kopassus berhasil menyerbu masuk dan membebaskan pesawat.
Aksi teror yang terjadi di Cicendo Bandung, pada hari ini menjadi deja vu bukan karena tujuan aksinya, tetapi karena situasi nasional yang memanas saat itu. Pada saat itu, kelompok Islam merasa tertindas oleh tekanan rezim Soeharto yang menghadapkan Pancasila dengan hukum Islam.
Dikatakan deja vu, karena sejumlah kelompok Islam saat ini merasakan situasi yang sama seperti yang dihadapi olej kelompok Imran. Saat ini sejumlah kelompok merasakan adanya perlakuan diskriminatif pemerinrah Jokowi, khususnya yang menyangkut penegakan hukum. Kelompok-kelompok Islam ini menuding Pemerintah Jokowi tengah mengkriminalisasi sejumlah ulama yang dianggap vokal mengritik pemerintah.
Aksi teror yang terjadi di Cicendo pada hari ini terbilang kecil. Ledakan panci pun tidak berdampak sama sekali. Demikian juga dengan upaya pelaku teror yang berupaya membakar kantor kelurahan Arjuna. Tetapi, potensi ledakan sosial suatu saat dapat terjadi jika pemerintah Jokowi tidak mengubah kebijakannya terkait penegakan hukum.
Rasa ketidakadilan, di manapun itu, merupakan potensi besar yang dapat meruntuhkan pemerintahan suatu rezim. Pada 2011, Presiden Tunisia Ben Ali jatuh setelah meledaknya aksi demo pascapembakaran diri Mohamet Boauzizi. Demikian juga dengan Presiden Mesir Hosni Mubarak yang dipaksa lengser oleh rakyatnya.
Terjadinya aksi-aksi unjukrasa kelompok Islam sejak 14 Oktober 2016, merupakan pesan kuat adanya ancaman terhadap Jokowi. Sampai Aksi 112 yang digelar pada 11 Februari 2017, unjuk rasa bisa berlangsung dengan damai. Bahkan, bisa dikatakan daya tekan aksi 112 jauh lebih kecil dari aksi-aksi sebelumnya. Tetapi, potensi akan terjadinya aksi yang lebih besar serta kuat dapat terjadi sewaktu-waktu.
Sampai saat ini belum nampak adanya aksi yang dapat disebut sebagai people power. Semua aksi, kecuali Aksi 411 yang digelar pada 4 November 2016, hanya berlangsung selama beberapa jam. Sementara, sebuah aksi  bisa disebut sebagai people power jika berlangsung selama berhari-hari. Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998 setelah serangkaian aksi demo berlangsung selama berbulan-bulan.
Dalam aksi-aksi messa yang terjadi sebelumnya pun telah direncanakan secara rapih. Karenanya, para pengunjuk rasa sangat terkoordinasi dan tertib. Mereka pun sangat mematuhi pemimpin dan koordinator lapangan.