Malam hari setelah dilantik Jokowi bertemu Perdana Menteri Australia Tony Abbott. Keduanya duduk berdampingan di Istana Merdeka. Lewat pesawat televisi terdengar Jokowi mengucapkan kata-kata dalam Bahasa Inggris. Apakah Jokowi belum mengetahui UU 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan,
Dalam ayat 1 Pasal 32 UU 24/2009 tersebut disebutkan, “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia.” Kewajiban di sini ditujukan bagi siapa saja, tanpa ada pengecualian. Jadi Presiden RI pun wajib menggunakan Bahasa Indonesia alat komunikasinya.
Sedang, dalam Ayat 1 Pasal 33 ditegaskan “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta.” Jadi, selama berada di Indonesia wajib hukumnya bagi siapa pun untuk menggunakan Bahasa Indonesia. Dengan demikian saat menerima Abbott, Jokowi seharusnya menggunakan Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia baru bisa ditinggalkan bila Presiden RI berbicara dalam forum yang bersifat internasional. Hal ini dikarenakan dalam dalam Ayat 2 disebutkan, “Bahasa Indonesia dapat digunakan dalam forum yang bersifat internasional di luar negeri”.
Jadi sangat jelas bila dalam pertemuan dengan Abbott, Jokowi sudah melanggar undang-undang. Melanggar undang-undang sama saja dengan melanggar sumpah yang baru pada pagi harinya diikrarkan Jokowi, “...memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
Kalau dipikir, UU 24/2009 yang ditandatangani oleh SBY ini seolah menjadi jebakan Batman bagi pejabat negara yang disumpah untuk menjalankan segala perundang-undangan. SBY pun berkali-kali melanggar undang-undang ini, bahkan dalam pidato kenegaraannya pun SBY tetap menyisipkan kata-kata berbahasa Inggris. Dan kecil kemungkinan ada pejabat yang berani mengatakan tidak akan melanggar UU 24/2009 dengan mengucapkan, “Kalau ada satu saja kata asing yang keluar dari mulut saya, gantung saya di Monas.”
Pelanggaran, sekecil apapun itu, apalagi kalau dilakukan oleh kepala negara sangat tidak bisa diterima. Dan, negara tidak bisa membiarkan pelanggaran itu terus terjadi. Selain SBY dan Jokowi, pasti banyak pejabat negara lainnya yang melanggar undang-undang tersebut. Dan, banyak calon pejabat yang berpotensi melanggar UU 24/2009 ini. Hal ini terjadi karena kekakuan dari pasal-pasal dari undang-undang tersebut. Karenanya UU 24/2009 perlu ditinjau ulang dan diamandemen sehingga memungkinkan presiden menggunakan bahasa asing dalam event-event internasional di Indonesia. Masalahnya, mengamandemen UU tidak semudah menganti aba-aba “Laksanakan!” menjadi “Lanjutkan!” seperti dalam protokeler upacara bendera.
Tapi, sebelum UU tersebut diamandemen, paling tidak ada solusi yang bisa dijalankan. Solusinya adalah dengan menggunakan penerjemah untuk mendampingi Presiden. Mungkin terdengar lucu melihat Presiden Indonesia yang lancar berbahasa Inggris harus didampingi penerjemah saat bertemu Perdana Menteri Inggris. Tetapi, selucu apapun, itulah konsekuensi dengan ditetapkannya UU 24/2009. Apalagi, penerjemah bagi presiden bukanlah hal yang baru. Sebelumnya Presiden Soeharto pun didampingi oleh Widodo Sutyo yang dengan setia mengindonesiakan bahasa asing kepada Soeharto dan mengasingkan bahasa Indonesia kepada lawan bicara Soeharto. Sampai muncul pertanyaan, “Apakah sebenarnya Pak Harto bisa berbahasa Inggris atau tidak?” Dan, sampai sekarang pertanyaan itu belum terjawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H