Bagi publik, politik bukanlah deal-deal di bawah meja atau di belakang layar. Bagi publik, politik adalah peristiwa yang diberitakan oleh media. Yang publik ketahui pada Jumat 9 Januari 2015 Presiden Jokowi mengajukan surat pencalonan Komjen Pol Budi Gunawan sebagi calon Kapolri. Tidak ada nama lain yang diajukanm kecuali jenderal bintang tiga mantan ajudan Presiden Megawati ini. Dengan kata lain Budi adalah calon tunggal atau bisa dikatakan calon “jadi”. Dari media pula publik melihat gencarnya penolakan terhadap calon tunggal kapolri pilihan Jokowi ini. Dan, dari media pula publik menyaksikan KPK mengumumkan Budi sebagai tersangka.
Di sisi lain, lewat media abal-abal, publik disuguhi “drama belakang layar” pencalonan Budi. Di situ digambarkan jika pengajuan Budi sebagai bentuk tekanan dari Megawati Soekarnoputri terhadap Jokowi. Sedang, Jokowi yang diposisikan tidak didukung sepenuhnya oleh PDIP sebagai kendaraan politinya tidak mampu menolaknya. Karenanya Jokowi kemudian menerima permintaan Megawati lalu mengajukannya ke DPR. Di sisi pihak, KPK didorong untuk mempercepat proses hukum terhadap Budi. Rangkaian “cerita” ini mirip dengan adegan sikut-sikutan saat pemilihan calon menteri. Jokowi yang dititipi nama sejumlah menteri melibatkan KPK dan PPATK untuk ambil bagian dalam proses seleksi. Akibatnya banyak calon menteri yang tersingkir bukan oleh Jokowi, tetapi oleh KPK.
Namun demikian, berita yang disampaikan oleh media abal-abal sulit untuk dipercayai kebenarnnya. Karenanya publik pun kembali kepada media mainstream yang memberitakan calon tunggal Kapolri pilihan Presiden Jokowi yang dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK. Dari pemberitaan media mainstream jelas bila Jokowi sangat dirugikan.
Publik tahu, sekalipun calon Kapolri merupakan rekomendasi Kompolnas dan menurut Kompolnas Budi bersih dari kasus korupsi. Faktanya nama Budi merupakan salah seorang calon menteri yang mendapat plat merah dari KPK.. Dengan diplatmerahkannya nama Budi oleh KPK ketika namanya masuk dalam daftar calon menteri. Timbul pertanyaan, kenapa Jokowi tetap mencalonkan Budi meski memiliki informasi dari KPK. soal ketidakbersihan calonnya tersebut..
Sebelumnya pun Jokowi melakukan kesalahan dengan menaikkan harga BBM dengan alasan kenaikan harga minyak dunia dan kuota subsidi yang semakin menipis. Faktanya, beberapa minggu kemudian harga minyak dunia turun. Di mana kesalahannya? Apakah intelijen dalam hal ini yang membawahi bidang ekonomi tidak mampu mendapat informasi akan ditingkatkannya produksi minyak yang berdampak pada turunnya harga? Ataukah kesalahan dalam menganalisa informasi? Atau karena faktor lainnya?
Okelah, soal turunnya harga minyak dunia terkait politik luar negeri yang memanas di bekas wilayah Uni Sovyet. Di mana intelijen belum tentu sanggup mendapatkan informasi-informasi strategis. Tetapi, bagaimana dengan kesalahan pengajuan calon kapolri? Bukankah informasi sudah sangat lengkap. Inilah blunder besar Jokowi yang sulit dimaafkan. Kesalahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H