Sekali lagi kantong teh celup kuputarkan mengitari pinggiran cangkir. Lantas setetes demi setetes Minyak Kayu Putih Cap Lang Aromatherapy Ekaliptus kuteteskan dari botolnya yang berwarna hijau. Tetesan minyak kayu putih itu mengapung di atas teh yang masih panas. Mengapung dan berputar pelan mengitari wadahnya.
Kudekatkan hidungku ke bibir cangkir. Lantas, kuhirup uap air yang membumbung dari dalam cangkir. “Ah... Semriwing!”
Kurasakan ke-semriwingan aroma ekaliptus yang seolah menari-nari dalam lubang hidungku. Hangatnya menjamahi ujung-ujung syaraf indera penciumanku. Menggodaku untuk sekali lagi menghirupnya.
Minyak Kayu Putih Ekaliptus Aromatherapy Cap Lang yang kuteteskan dari botol berukuran 60 Ml itu terbuat dari 100 % minyak ekaliptus atau eucalyptus oil. Minyak jenis ini memiliki karakter dan manfaat yang sebagian besar mirip dengan minyak kayu putih cajuput.
Hanya saja, minyak kayu putih yang terbuat dari ekaliptus terasa lebih hangat. Aromanya pun lebih lembut. Kehangatan dan aromanya inilah yang memberikan efek sensasi yang berbeda dari minyak kayu putih cajuput.
Jumat sore itu, 4 November 2016, ku duduk selonjorandi teras rumah yang menghadap ke arah Selatan. Sayup-sayup terdengar suara melankolis Iis Sugianto mendendangkan “Bunga Sedap Malam”. “Bukannya bunga petik layu. Bukannya bunga harum layu. Bukannya bunga sedap malam.” Begitu lantun penyanyi era 80-an itu.
Sambil mendengarkan lagu-lagu lawas yang yang sengaja diputar sayup-sayup, kuangkat cangkir. Kudekatkan bibir cangkir dengan bibirku. kembali kuhirup aroma ekaliptus. Aroma Ekaliptus kembali menyusup masuk ke dalam dua lubang hidungku. “Semriwing!”
Lantas ku-sruput sedikit demi sedikit teh hangat. Seperti saat menikmati kopi, cairan teh bercampur minyak kayu putih ekaliptus itu kumainkan terlebih dulu di dalam rongga mulut. Lidahku meliuk-liuk mengaduk lembut cairan teh. Terasa kehangatan dan aroma lembut Minyak Layu Putih Cap Lang Aromatheraphi Ekaliptus menghentak-hentak seperti kuda jantan yang dicambuk oleh ksatria penunggangnya.
Sudah lupa kapan pertama kali aku minum teh yang ditetesi minyak kayu putih. Mungkin sekitar tahun 2006-an. Waktu itu kereta api malam Senja Utama jurusan Yogyakarta-Gambir sudah melewati Stasiun Purwokerto. Entah sejak kapan perut ini terasa sakit. Karena restorasi kereta api tidak menyediakan obat sakit perut, salah seorang petugas restorasi kereta menawariku teh hangat.
“Nanti dikasih kayu putih, Mas,” kata petugas restorasi itu.
Aku yang saat itu tidak mempunyai pilihan lain terpaksa mengangguk dan mengiyakan.