Miris rasanya membaca pernyataan Ketua KPU DKI Sumarno yang diberitakan Sindonews.com ini. Pada Selasa kemarin, 7 Februari 2017, Ketua KPUD DKI Jakarta meminta bantuan semua pihak melakukan pengawasan untuk memastikan tidak ada pemilih ganda. Saat ini berkembang isu adanya penggandaan e-KTP yang akan digunakan untuk mencoblos.
Usulan Ketua KPUD DKI Jakarta tersebut tidak ada salahnya. Permintaan tersebut malah semakin membuktikan kalau penggandaan e-KTP memang benar-benar terjadi, tidak seperti yang kerap dibantah para pendukung Ahok-Djarot sebagai informasi hoax.
"Yang sedang dilakukan adalah memastikan tak ada pemilih ganda. Semuaharus turut serta melakukan pengawasan," kata Sumarno di kantor KPU DKI, Salemba, Jakarta Pusat,
Masalahnya, kata “semua” yang diucapkan oleh Ketua KPUD DKI Jakarta ditujukan juga kepada warga sebagaimana yang tertulis pada judul “Waspada Pemilih Ganda, KPU DKI Berharap Warga Ikut Awasi TPS”
Sebenarnya, tidak jelas juga maksud “semua” yang diucapkan oleh Sumarmo. Tetapi, kalau kata “semua” dalam pernyataan tersebut juga termasuk “warga”, dikhawatirkan justru memberi legitimasi kepada warga untuk mengawasi pelaksanaan pemungutan suara di TPS.
Dalam pelaksanaan pemilu, tanpa perlu diminta pun warga sudah menjadi pengawas. Warga datang sebelum TPS dibuka. Dan, selama tahap pemungutan suara, warga masih mengawasi sambil ngobrol di sekitar TPS. Selanjutnya, pada saat perhitungan suara, warga mendekati area TPS. Mereka ikut mencatat hasil perolehan suara setiap kandidat.
Saat berlangsungnya tahapan pemilu, petugas KPPS juga mengumumkan setiap tahapan pemilu kepada warga, jadi bukan hanya kepada saksi saja. Misalnya, petugas KPPS menunjukkan kotak suara yang kosong setelah dibongkar seluruh isinya. Jumlah surat suara berikut surat suara tambahan juga disebutkan. Demikian juga dengan jumlah DPT. Satu bukti kalau warga juga terlibat dalam pelaksanaan pemilu adalah ditempelnya lembaran DPT di sekitar area TPS.
Biar pun demikian, warga tidak pernah masuk ke dalam area TPS yang dibatasi oleh tali rafia, tembok bangunan, atau lainnya. Jangankan warga, petugas panwaslu, Polri, dan TNI pun tidak berani memasuki area TPS. Selain mencatat, sebagaimana petugas Panwaslu, PPS, TNI, dan Polri, warga diperbolehkan mengambil foto atau video. Asal, semua aktivitas itu dilakukan di luar area TPS.
Sedangkan, di dalam TPS hanya ada tujuh petugas KPPS (Hansip boleh masuk namun lebih banyak berada di luar, saksi yang didatangkan setiap kontestan pemilu, dan pemilik hak suara. Selain itu, tidak ada yang berhak memasuki wilayah TPS.
Dalam pelaksanaan pemilu, jangankan warga yang tidak dibekali petunjuk teknis pelaksanaan pemilu, para saksi yang dihadirkan pun belum tentu mengetahui tetek-bengek soal pemilu. Contohnya, ada saksi yang mengartikan surat suara tambahan hanya diperuntukkan bagi pemilih di luar DPT. Dan lebih parah lagi, ada banyak petugas KPPS yang tidak memahami pengisian Form C1.
Sekali lagi, jika “semua” yang dimaksud oleh Ketua KPUD DKI Jakarta ini termasuk juga warga sebagaimana yang artikan oleh wartawan, maka permintaan KPUD Jakarta ini justru berpotensi menimbulkan kekacauan di TPS.