Kita awali tahun 2017 ini dengan artikel yang ringan dan yang lucu.
Masih ingat Edward Snowden? Snowden adalah pegawai CIA yang juga menjadi kontraktor pada National Security Agency (NSA). Sekitar tahun 2013 Snowden yang berkerja di dinas rahasia Amerika Serikat ini malah membocorkan Program PRISM yang sangat dirahasiakan NSA kepada media.
Dengan Program PRISM ini, kata Snowden, NSA dapat memantau segala macam percakapan, telepon, SMS, chatting, dll dari seluruh pengguna internet di dunia. Bukan saja para bandit, teroris, dan orang-orang penting yang dipantau, ABG yang sedang kasmaran pun tidak luput dari pantauan NSA.
Karena target yang dipantau dan disadap tidak kanal bulu. Tidak heran kalau 90 % obyek sadapan adalah percakapan rakyat jelata, termasuk ABG, yang tidak tahu apa-apa. Jadi, tidak mengherankan percakapan yang disadap lebih banyak seputar soal percintaan, mulau dari yang kasmaran, curhat, selingkuh, sampai patah hati.
Setelah membocorkan Program PRISM kepada The Guardian dan The Washington Post di Hong Kong pada Juni 2013, keberadaan Snowden tidak jelas lagi. Saat ini Snodewn berstatus buronan. Sejumlah negara menolak memberikan suaka kepadanya. Terakhir pada 14 Desember 2016, Snowden tampil live di Periscope untuk diwawancarai oleh CEO Twitter, Jack Dorsey.
Beda Snowden, beda pula dengan Menkominfo Rudiantara. Kalau Snowden harus sembunyi-sembunyi mengungkapkan aktivitas NSA, sementara Rudiantara dengan terang-terangan malah mengungkapkan kalau pemerintah akan memantau aplikasi chatting.
Di satu sisi Rudiantara tidak salah. Bagaimana pun juga konten berisi ujaran kebencian, provokatif, sampai hoax, termasuk fitnah sebagian besar diawali dari ruang chatting. Namun demikian, bagaimana pun juga ruang chatting tetaplah ruang privat. Dan, selama masih dalam lingkup ruang privat, negara tidak boleh memasukinya.
Okelah, katakan saja saat ini negara perlu melakukan pemantauan terhadap aplikasi chatting. Pertanyaannya, apakah rencana pemerintah itu harus dibeberkan? Kalau begitu apa bedanya Rudiantara dengan lelaki iseng yang bilang ke tetangganya kalau sore nanti dirinya mau ngintip kamar mandi milik rumah janda muda. Sederhananya, mau ngintip kok bilang-bilang.
Kalau pemerintah mau ngintip percakapan online, lakukan saja dengan diam-diam, tidak perlu pakai diumumkan segala. Dengan diumbarnya rencana intip-mengintip itu, malah menimbulkan kesan kalau rencana tersebut hanyalah ancaman kosong bolong melompong belaka. Dan biasanya, ancaman yang dilontarkan tidak pernah dieksekusi.
Kekacauan tindakan Kemkominfo yang dipimpin oleh Rudiantara bukan hanya soal diumbarnya rencana intip-mengintip aplikasi chatting, tetapi juga pada tindakan pemblokiran sejumlah situs yang dinilai radikal. Kacaunya di mana? Kacaunya pemblokiran itu seperti gaya pacaran ABG yang putus-sambung. Kemarin diblokir, sekarang dibuka, besok diblokir lagi. Lucunya lagi, tidak semua operator menuruti “keinginan” Kemkominfo untuk memblokir situs-situs yang dinilai radikal itu. Ada operator yang memblokir. Ada juga yang tidak. Pertanyaannya, di mana wibawa pemerintah?
Lagi pula, muatan-muatan di dunia maya masih dalam bentuk opini. Kalau opini, kenapa harus dilawan dengan pemberangusan. Kenapa tidak melawan opini dengan opini? Pemberangusan terhadap kebebasan berpendapat berpotensi menimbulkan perlawanan dalam bentuk fisik. Apalagi kalau pemberangusan tersebut menimbulkan rasa ketidakadilan.