[caption caption="Massa dari Teman Ahok mengumpulkan dukungan melalui petisi di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (1/3/2015).TRIBUNNEWS / DANY PERMANA"][/caption]Akun-akun pendukung Ahok memang culun-culun. Para akun itu dengan serampangan menuduh setiap tokoh yang bakal jadi pesaing Ahok punya motif ingin mengikuti jejak Jokowi. Anehnya, kenapa mereka sendiri ga menodongkan tuduhan yang sama kepada Ahok.
Tapi, yang dimaksud akun dalam tulisan ini akun yang memposisikan diri sebagai pendukung Ahok. Jadi belum tentun dipunyai oleh orang yang benar-benar mendukung Ahok. Sebab, paling tidak, ada akun-akun yang seolah mendukung Ahok, tapi sesungguhnya dimiliki oleh lawan Ahok. Tujuan akun-akun yang seolah mendukung Ahok ini jelas ingin merusak citra Ahok.
Masalahnya, apa mungkin calon Gubernur DKI nantinya bisa mengikuti langkah Jokowi yang baru dua tahun menjabat Gubernur DKI bisa terpilih sebagai Presiden RI? Kalau pertanyaannya, mungkin atau tidak, jawabannya pasti mungkin. Tapi, seberapa besar kemungkinannya. Itu masalahnya.
Kalau diperhaikan ada dua faktor yang membuat Jokowi berhasil menjadi Gubernur DKI dan dua tahun kemudian menjadi Presiden RI. Pertama, Jokowi mempunyai momentum. Dan yang kedua sentimen positif.
Soal faktor momentum, Jokowi berhasil menarik perhatian publik lewat mobil Esemka yang mendapat sorotan media. Ketika itu hampir sebulan penuh perhatian bangsa ini tertuju ke arah Jokowi dan Esemka-nya. Ternyata, Esemka tidak sendirian. Di belakang Esemka menyusul berita-berita positif tentang Jokowi lainnya, mulai dari pemindahan PKL sampai perseteruan Jokowi dengan Gubernur Jateng Bibit Waluyo. Bahkan, banyak asesoris-asesoris yang kemudian diekspos, mulai dari kelucuan ketika Jokowi pertama kali memimpin upacara bendera sampai soal Jokowi yang kalah ganteng dari ajudannya. Beragam pemberitaan inilah yang membuahkan sentimen positif bagi Jokowi..
Masalahnya, momentum itu tidak bisa diciptakan. Sekalipun media mengekspos pemberitan tentang Jokowi, tapi kalau publik tidak meresponnya, sintimen positif pun tidak akan muncul. Demikian juga sebaliknya. Contohnya Surya Paloh. Meski Metro TV jor-joran menayangkan pidato Surya dengan se-full-full-nya, toh tingkat elekabilitasnya hanya berkutat di sekitar angka 2,5 %. Jadi, bukan saja momentum yang tidak bisa diciptakan, sentimen pun tidak bisa dilahirkan. Sentimen positif terhadap Jokowi ini terus terpelihara sampai Pilpres 2014. Itulah yang menyebabkan Jokowi dapat memenangi Pilpres 2014 sekalpun serangan terhadap dirinya begitu besar. Hal itu bisa dipantau lewat situs PoliticaWave.com.
Nah, adakah calon pesaing Ahok yang memilki momentum sebagaimana Jokowi? Sampai sekarang belum ada. Ridwan Kamil mungkin saja mencoba mendapatkan momentumnya lewat kasus penolakan kunjungan rombongan Pemkot Bandung oleh Pemkot Surabaya. Tapi, sekali lagi kalau itu percobaan untuk mendapatkan momentum, Kang Emil telah gagal. Netizen malah memandang negatif tindakan Kang Emil yang mengekspos kasus ini lewat Twitter.
Para cagub pastinya orang-orang yang rasional serta penuh pertimbangan. Mereka tahu kalau jejak nasib seseorang tidak mudah untuk diikuti. Karenanya jangan gampang menuduh kalau mereka nyagub untuk membuka jalan menuju istana. Yusril tahu persis soal itu. Demikian juga dengan Emil, Risma, dan lainnya.
Tuduhan yang tanpa dasar kepada calon lawan Ahok justru mencerminkan akun-akun pendukung Ahok sebagai pengecut. Kalau takut buat apa ikut terjun dalam persaingan. Padahal Ahok sendiri sudah merentangkan tangan selebar-lebarnya untuk setiap lawannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H