Buat saya tindakan yang dilakukan Maroef Sjamsoeddin di Hotel Ritz Carlton pada 8 Juni 2015 sudah jelas. Maroef bukan melakukan penyadapan, tapi perekaman. Sebab, menurut Pasal 31 UU ITE yang dimaksud dengan penyadapan adalah perbuatan mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dengan dengan memasuki sistem jaringan target. Dalam kasus rekaman “Papa Minta Pulsa”, perekaman dilakukan Maroef tanpa memasuki sistem jaringan targetnya.
Perekaman yang dilakukan oleh Maroef lebih tepat jika disebut sebagai perbuatan memata-matai. Aksi mata-mata serupa juga pernah dialami oleh Jokowi. Hal ini diungkapkan oleh Politisi PDI-P Tubagus Hasanudin Menurut Tubagus, ada tiga alat alat perekam yang ditemukan di rumah dinas Gubernur DKI Jakarta Jokowi. Ketiga alat tersebut dapat merekam suara dan gambar. Penemuan alat perekam suara tersebut baru diungkapkan pada Februari 2014. Padahal ketiga alat tersebut sudah ditemukan pada Oktober 2012. Selain itu, sampai saat ini wujud dari alat tersebut belum pernah ditunjukkan keada publik.
Dalam dunia spionase pemasangan alat perekam atau transmiter bukanlah hal yang asing. Skandal besar penempatan transmiter terjadi pada Januari 2006. Ketika itu televisi pemerintah Rusia merilis video pengintaian yang dilakukan kontra-intelijen Rusia FSB. Video itu memperlihatkan seorang diplomat Inggris Christopher Pirt saat tengah mengambil sebuah “batu” di satu jalan di kota Moscow. Selain Pirt yang bekerja sebagai sekretaris kearsipan di kedutaan Inggris, beberapa staff kedutaan Inggris lainnya seperti Marc Doe dan Andy Fleming diketahui berulang kali mengunjungi “batu” yang sama. Benda mirip batu yang ternyata sebuah alat perekam tersebut kemudian dikenal sebagai Spy Rock.
Spy Rock yang ditaruh mata-mata Inggris tersebut hanya mampu merekam pembicaraan dalam radius tertentu. Suara yang terekam Spy Rock disimpan di dalam memori yang disembunyikan di dalam “batu”. Karena Spy Rock hanya mampu merekam dan menyimpan suara, maka dalam jangka waktu tertentu mata-mata Inggris harus memindahkan data yang terekam ke dalam PDA yang dibawanya. Spy Rock sengaja dibuat tidak dapat memancarkan informasi yang diterimanya, karena dinas intelijen Inggris khawatir gelombang elektromagnetis yang dipancarkan Spy Rock akan tertangkap oleh kontra intelijen Rusia.
Aksi Pirt ini kemiripan dengan yang dilakukan Maroef. Keduanya sama-ama merekam dengan menggunakan gadget. Tapi, ada juga bedanya. Bedanya, intel Inggris merekam dengan menggunakan Spy Rock, sedang Maroef yang juga mantan Waka BIN merekam dengan menggunakan HP Samsung. Perbedaan lainnya adalah, intel Inggris meletakan Spy Rock, kemudian ditinggalkan selama beberapa hari, sementara mantan intel Indonesia meletakan dan menongrongi alat perekamnya selama pembicaraan.
Jika, aksi Pirt memancing kecurigaan dinas kontra-intelijen Rusia, maka aksi Maroef sama sekali tidak menimbulkan kecurigaan Setya Novanto dan Muhammad Riza Chalid. Padahal, selama lebih dari 120 menit, HP Samsung milik Maroef yang diletakkan di atas meja tidak terdengar ada bunyi panggilan masuk, SMS masuk, atau lainnya. Dengan demikian, aksi Maroef lebih “James Bond” ketimbang “Johnny English”
Perbadaan lainnya yang paling mencolok adalah; dalam kasus skandal Spy Rock tidak ada media yang menyebutnya sebagai aksi penyadapan, sementara di Indonesia banyak media, pakar dan pengamat politik yang menyebut aksi Maroef sebagai penyadapan.
Sumber berita dan foto:
http://www.ibtimes.co.uk/britain-used-fake-rock-spy-russia-284200