Merenggangnya hubungan Jokowi-Nasdem pasca pencapresan Anies Baswedan pada 3 Oktober 2022 berdampak buruk pada Jokowi. Kini Jokowi bahkan terancam dimakzulkan setelah kader PDIP itu menerbitkan Perppu Ciptaker pada 30 Desember 2022. Kini Jokowi seolah tidak memiliki pelindung lagi. Sialnya, bagi Jokowi, alih-alih membentengi Jokowi, kader PDIP justru kerap kali menambah kekisruhan.
Ulah Kader PDIP yang Menjengkelkan
"Terlalu banyak politisi saat ini yang merasa seolah olah jadi Presiden dadakan dan mencoba mengatur prerogative rights Presiden. Nggak usah lah itu, tidak perlu membuat ruang publik dan diskursus politik menjadi bising yang tidak bermanfaat," ucap Menkominfo Johnny G Plate pada 5 Januari 2023.
Johnny G Plate memang tidak menyebut nama atau pihak yang dimaksudnya. Tetapi, publik dapat dengan mudah menebaknya sebab dua hari sebelumnya Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Djarot Saiful Hidayat menyarankan dua menteri asal Nasdem, yakni Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan Menteri Pertanian, untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Pernyataan atau lebih tepatnya sindiran Johnny Plate kepada kader PDIP sejatinya bukan sekadar terkait rumor reshuffle kabinet yang saat ini tengah gencar digembar-gemborkan oleh PDIP, melainkan isu-isu lainnya yang menyangkut hubungan antara kader PDIP dan Presiden Jokowi.
Belakangan sebuah cerita diungkap Panda Nababan. Politisi senior PDIP itu mengungkapkan kisah tentang Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang pernah mengancam akan menghabisi nyawa politikus PDIP Adian Napitupulu.
Menurut cerita Panda, ancaman tersebut dilontarkan Luhut sekitar satu tahun yang lalu di kolam renang lantai 5 Hotel Grand Hyatt. Luhut, masih menurut Panda, memprotes Panda dan Adian yang dianggap terus memberi masalah kepada Jokowi.
"Kalian berdua kalau ketemu Presiden jangan kasih pikiran-pikiran berat lah, bikin persoalan. Ya kalau ketemu dengan Presiden tuh kita membantu menyelesaikan persoalan, bukan membawa persoalan," ungkap Panda, menirukan pernyataan Luhut kala itu.
"(Luhut menjawab lagi) 'Eh kau jangan ngelawan aku ya, aku udah biasa ngehabisin orang," sambung Panda.
Panda mungkin bermaksud menjelekkan Luhut dengan menggambarkan tangan kanan Jokowi tersebut sebagai tukang ancaman. Dan, jika memperhatikan percakapan netijen di berbagai platform media sosial, cerita Panda tersebut berhasil mempengaruhi publik. Publik pun kompak menghujat Luhut.
Namun, jika mendengarkan cerita Panda tersebut dengan kepala yang sedikit saja dingin, maka sikap Luhut kepada Adrian setali tiga uang dengan sindiran Menkominfo Johnny G Plate yang mungkin ditujukan kepada kader PDIP.
Luhut tidak salah, begitu juga dengan Johnny Plate, PDIP memang lebih banyak merecoki pemerintah Jokowi ketimbang membantunya.Â
Pada 14 Juli 2020, misalnya, lini masa Twitter diramaikan tagar #BUMNSayangKadrun. Tagar ini viral menyusul #ErickOut yang viral sebelumnya. Jelas dua tagar yang viral itu disasarkan ke arah Menteri BUMN Erick Thohir. Bersamaan dengan serangan kepada Erick tersebut sebuah video yang diberi judul "Jokowi Marah" beredar.
Pada hari H video "Jokowi Marah" beredar, jagad Twitter diramaikan oleh tagar #GanjarNoErickYes. Sekalipun tagar tersebut menandai dukungan pada Menteri BUMN Erick Thohir, namun patut diduga kuat bila tagar tersebut sesungguhnya diviralkan sebagai upaya pembusukan terhadap Erick.
Kecurigaan tersebut menguat setelah Adian secara terang-terangan menagih janji Jokowi. Menurut Adian, Jokowi sudah empat kali menjanjikan sejumlah posisi kepada Aktivis 98. Posisi yang dijanjikan Jokowi itu antara lain duta besar, menteri, dan komisaris,Â
Bahkan, menurut pengakuan Adian, pada 30 Oktober 2020 dirinya sempat dimintai nama oleh mensesneg. Dan, tidak satupun dari nama-nama tersebut mendapat jabatan seperti yang dijanjikan Jokowi. Adian tidak berbohong. Sebab, Jokowi memang pernah menjanjikan posisi menteri kepada Aktivis 98.
Adian memang tidak salah. Sebab bagaimana pun juga ia wajib mengingatkan Jokowi akan janji-janjinya. Namun, Adian patut disalahkan karena cara yang digunakannya menimbulkan kekisruhan di lingkungan Istana. Gegara ulah Adian, hubungan Megawati dan Jokowi pun terusik, Akibatnya ketidakharmonisan hubungan Megawati-Jokowi makin membesar.
Jokowi Tak Nyaman Bersama PDIP
Menurut konstitusi, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Jadi, ketiga menteri yang menduduki jabatan ini memilki posisi strategis.
Pada periode pertamanya, 2014-2019, dari tiga posisi strategis tersebut hanya satu yang diberikan Jokowi kepada kader PDIP, yakni Menteri Dalam Negeri. Jabatan ini diberikan Jokowi untuk Senior PDIP Tjahjo Kumolo.
Pada periode keduanya, 2019-2024, tidak satu pun dari ketiga posisi strategis itu yang diberikan Jokowi kepada kader-kader PDIP. Menteri Dalam Negeri yang semula dijabat oleh kader PDIP diberikan kepada mantan Kapolri Tito Karnavian. Sementara, Tjahjo ditempatkan di posisi yang nyaris tidak mendapat sorotan, yaitu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB).
Tidak diberikannya kursi Mendagri oleh Jokowi membuat PDIP tidak bisa terlalu dalam mencampuri penunjukan pejabat kepala daerah yang totalnya 272 pejabat mulai dari pejabat gubernur, pejabat bupati, pejabat pejabat walikota. Padahal, bagi parpol, kedudukan pejabat kepala daerah sangat strategis untuk mendulang suara.Â
Menariknya, setelah mangkatnya Tjahjo pada 1 Juli 2022, kursi Menpan RB tidak diberikan Jokowi kepada kader senior PDIP, melainkan kepada "anak kos" PDIP, Â Abdullah Azwar Anas,
Dipilihnya Azwar ketimbang kader senior PDIP mengisyaratkan ketidaknyamanan Jokowi pada PDIP. Bahkan, meski beberapa kali PDIP memaksa mendudukan kadernya di kursi Menteri BUMN, Jokowi tetap bergeming.
Pada periode pertama lewat Masington Pasaribu, PDIP mendesak Jokowi mencopot Rini Sumarno dan menggantikannya dengan kader PDIP, tapi Jokowi tak menggubrisnya. Begitu juga pada periode kedua, permintaan Adian Napitupulu untuk mengganti Erick Thohir dan menggantikannya dengan kadetr PDIP, tak dihiraukan Jokowi.
Renggangnya hubungan Jokowi dan PDIP sebenarnya udah berlangsung setidaknya sejak Januari 2015. Ketika itu Jokowi menarik pengajuan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri yang diusulkan PDIP.
Belakangan Jokowi dan PDIP kerap terlibat konflik dalam isu-isu masa jabatan presiden.Oleh PDIP, Jokowi dianggap membiarkan relawan-relawannya mengampanyekan "3 periode" yang notabane melanggar konstitusi. Bahkan, PDIP meluapkan kemarahannya pada pendukung Jokowi yang mendesak PDIP untuk segera mencapreskan Ganjar Pranowo.
Jokowi Lebih Nyaman Bersama Nasdem Ketimbang PDIP
Renggangnya hubungan Jokowi-PDIP tak berdampak buruk. Tetapi, setelah Jokowi menjauh dari Nasdem, kini Jokowi menghadapi ancaman yang terbilang serius. Jokowi kini menghadapi upaya pemakzulan setelah menandatangani Perppu Ciptaker.
"Peran MK dan DPR diabaikan. Ini bukan contoh rule of law yang baik tapi jadi contoh rule by law yang kasar dan sombong," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)Â Jimly Asshiddiqie dalam keterangan pers pada 4 Januari 2023.
Seperti sejumlah pakar hukum tata negara lainnya, Jimly tidak hanya berhenti sampai di situ, ia pun menegaskan penerbitan Perppu Ciptaker berpeluang digunakan sebagai celah untuk mengajukan usulan pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden Jokowi.
Namun demikian, Jimly mencurigai adanya potensi bahwa penerbitan Perppu Cipta Kerja itu sebagai jebakan untuk menjatuhkan Presiden Jokowi.
"Bisa juga usul Perppu Ciptaker tersebut memang sengaja untuk menjerumuskan Presiden Jokowi untuk pemberhentian di tengah jalan," ujar Jimly.
Pertanyaannya, siapa yang menjerumuskan Jokowi?
Dalam kasus serupa, yaitu pasca disahkannya Revisi UU KPK pada Oktober 2020, Jakarta dan beberapa kota besar lainnya diselimuti aksi unjuk rasa besar-besaran. Kala itu sejumlah pihak mendesak Jokowi untuk segera mengeluarkan Perppu untuk Revisi UU KPK.
Namun, Ketua Umum Nasdem Surya Paloh mengingatkan Jokowi untuk tidak mengikuti desakan sekelompok orang.
"Mungkin masyarakat dan anak-anak mahasiswa tidak tahu kalau sudah masuk ke ranah sana (MK), presiden kita paksa keluarkan perppu, ini justru dipolitisasi. Salah-salah presiden bisa di-impeach (dimakzulkan) karena itu," kata Surya Paloh pada 2 Oktober 2019.
Surya mengatakannya karena sehari sebelumnya Jokowi mengatakan tengah mempertimbangkan terbitnya Perrpu.
"Berkaitan dengan UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali masukan yang diberikan kepada kita, terutama masukan itu berupa perppu. Tentu saja ini kita hitung, kalkulasi," kata Jokowi.
Wakil Presiden Jusuf Kalla pun sependapat dengan Surya Paloh.
"Karena baru saja Presiden teken berlaku langsung Presiden sendiri tarik. Kan tidak bagus. Di mana kita mau tempatkan kewibawaan pemerintah kalau baru teken berlaku kemudian kita tarik. Logikannya di mana?" kata Jusuf Kalla..
Menariknya, dengan alasan yang sama, Jokowi pun semula menolak menerbitkan Perppu Ciptaker.
"UU Ciptaker adalah inisiatif pemerintah. Disiapkan berbulan-bulan. Kemudian disetujui DPR. Ya kita senang dong. Masakan kita mau keluarkan Perppu?" kata Jokowi pada 16 November 2020.
Muncul pertanyaan, bagaimana bisa Jokowi dicegah mengeluarkan Perppu Revisi UU KPK, tetapi dibiarkan mengeluarkan Perppu Ciptaker yang oleh MK dinyatakan inkonstitusional bersyarat? Kemana kader-kader senior PDIP yang berada di kabinet? Bagaimana bisa Setkab Pramono Anung membiarkannya? Kenapa Menkumham Yasonna Laoly menutup mata?
Memang benar ada konflik antara PDIP-Jokowi. Dan memang saat muncul dorongan pemakzulan Jokowi pada 2015, Golkar yang menjadi salah satu penggagasnya bisa mendapatkan keuntungan. Tetapi, apakah PDIP ingin mengikuti langlah Golkar yang berhasil mendapatkan ikan di air yang keruh?
Dari dua kasus keluarnya Perppu ini, terbaca jelas berbedaan yang mencolok antara PDIP dan Nasdem. PDIP membiarkan Jokowi mendapatkan ancaman. Sementara Nasdem berupaya melindungi Jokowi.
Maka, merenggangnya hubungan Nasdem-Jokowi sangat merugikan Jokowi sendiri. Karenanya, sejatinya Jokowi lebih membutuhkan Nasdem ketimbang PDIP. Itulah alasan sampai sekarang Jokowi masih mempertahankan tiga kader Nasdem dalam kabinetnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H