Kasus kebocoran data yang bisa dikatakan paling menghebohkan terjadi pada Mei 2021. Ketika itu media memberitakan tentang bocornya data sekitar 279 juta warga Indonesia peserta BPJS Kesehatan, termasuk mereka yang sudah meninggal dunia. Data curian tersebut kemudian dijual secara daring.Â
Kebocoran data BPJS Kesehatan bukan kasus yang pertama. Tapi untuk kesekian kalinya. Dan, parahnya, peretasan data tidak hanya dialami oleh warga negara Indonesia, tetapi juga instansi pemerintah maupun swasta.Â
Karenanya, bisa dikatakan, tren kebocoran data selama empat tahun terakhir "cukup mengkhawatirkan".
Artinya, tren kebocoran data justru semakin meningkat setelah PP No.71/2019 dan Permen Kominfo No 5/2020 diundangkan. Bahkan, pasca batas waktu pendaftaran PSE pada 20 Juli 2022, data pelanggan PLN dan aktivitas pelanggan IndiHome mengalami kebocoran.
"Sudah daftar PSE, kok data masih saja bocor" kata netijen.
Padahal, antara pendaftaran PSE dan kebocoran data sama sekali tidak ada kaitannya.
Pendaftaran PSE sesuai Permen Kominfo memang mewajibkan penyelenggara sistem elektronik untuk memberikan pelindungan data pribadi. Namun, pertanyaannya, apakah PSE sudah menunaikan kewajibannya setelah mendaftar PSE Kominfo?Â
Lagi pula, mendaftar PSE Kominfo bukan memohon perlindungan kepada Kominfo dari ancaman peretasan data. Pasalnya, urusan keamanan merupakan otoritas PSE masing-masing.Â
Sebagai contoh, jika PayPal berhasil diretas dan data penggunanya dibocorkan, apakah Kominfo bisa dimintai pertanggungjawabannya karena PayPal sudah mendaftar PSE Kominfo?Â
Namun demikian, jika setelah mengalami peretasan yang mengakibatkan bocornya data pengguna, PayPal tidak menginformasikannya sesuai PP No.71/2019, Kominfo atau instansi pemerintah terkait lainnya dapat memberikan sanksi
Dan, tujuan dari Permen Kominfo No.5/2020 di mana pendaftaran PSE termasuk di dalamnya merupakan langkah pemerintah dalam mewujudkan keadilan dalam bisnis platform digital di Indonesia.