Kasus korupsi PT Asabri makin menarik untuk disimak setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengeluarkan tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa Heru Hidayat. Karuan saja, tuntutan JPU yang berbeda dari dakwaan yang tersebut memancing komentar dari sejumlah pakar hukum. "Keliru," begitu tandas salah seorang pakar saat menanggapi tuntutan JPU.
Menariknya, kekeliruan, atau bisa dikatakan sebagai kecerobohan, JPU tidak berhenti di situ. Saat membacakan replik atau tanggapan jaksa atas pledoi terdakwa Heru Hidayat pada 15 Desember 2021, JPU menggunakan perkara suap Susi Tur Andayani pada 2014 sebagai yurisprudensi atau contoh kasus di mana hakim memutus perkara di luar pasal yang didakwakan
Sebagaimana dalam duplik Heru Hidayat yang diberitakan Tribunnews.com pada 20 Desember 2021, putusan Pengadilan Negeri terhadap Susi Tur Andayani sudah dibatalkan oleh putusan kasasi. Alasan pembatalan perkara tersebut tidak lain dan tidak bukan karena hakim PN memutuskan di luar dakwaan.
Timbul pertanyaan, kenapa dalam kasus korupsi PT Asabri yang mendapat sorotan besar publik karena menyangkut kerugian negara senilai Rp 22,7 triliun ini, JPU yang pastinya merupakan jaksa-jaksa terpilih melakukan blunder fatal dalam tuntutannya?
Membaca Kecerobohan JPU Kasus Asabri dari Kacamata Logika Rocky Gerung
Untuk menakar tuntutan JPU dalam kasus korupsi PT Asabri ini bisa menggunakan kacamata logika Rocky Gerung. Dalam satu podcast-nya, Rocky mengatakan jika menemukan hal yang irasional, maka cari alasan yang membuatnya menjadi rasional.Â
Dalam artikel "Korupsi Asabri: Tuntut Hukuman Mati, JPU Telikung Jaksa Agung" yang ditayangkan di Pepnews.com, tuntutan mati JPU bahkan berbeda dari sikap Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang disampaikan Pada 28 Oktober 2021.
Jaksa Agung mengungkapkan sejumlah masalah dalam pemberlakuan tuntutan mati. Salah satunya, menurut Jaksa Agung, pidana mati hanya dapat diterapkan pada Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, masih menurut Jaksa Agung, untuk menjerat pelaku dengan pasal tersebut harus memenuhi syarat "keadaan tertentu."
Dalam kasus korupsi PT Asabri, "keadaan tertentu" yang disyaratkan oleh Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor tidak terpenuhi. Pasalnya, uang yang disangkakan dikorupsi oleh terdakwa Heru Hidayat bukan dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter.Â
Selain itu, sekalipun sebelumnya sudah divonis hukuman mati dalam kasus korupsi PT Jiwasraya, Heru Hidayat pun tidak bisa dijerat dengan dengan pasal tersebut karena tidak melakukan pengulangan tindak pidana korupsi.