"Pak yang memberi briefing kepada Bapak aduh aduh..aduh.. aduh.. siapa yang memberi briefing itu Pak. Tidak boleh dalam pertahanan keamanan menganggap tidak akan ada perang," ujar Prabowo Subianto saat debat Pilpres 2019 yang digelar di Hotel Shangri-La, Jakarta pada 30 Maret 2019 Â sebagaimana yang dikutip oleh sejumlah media..
Kemudian Capres nomor urut 02 ini mengungkapkan keraguannya atas analisa intelijen yang dipasok kepada Presiden Joko Widodo. Menurut analisa intelijen yang disampaikan Jokowi dalam debat, sampai 20 tahun ke depan Indonesia tidak terancam oleh invasi negara lain.
Prabowo ada benarnya juga. Pasalnya negara memang tidak bisa lalai dalam mengurus kekuatan bersenjatanya. Dan, salam situasi apapun, tentara harus disiapkan untuk menghadapi perang, terlebih perang dalam menghadapi invasi negara lain.
Tetapi, Prabowo salah dalam menangkap maksud dari pernyataan yang disampaikan oleh Jokowi. Sebab, yang disampaikan Jokowi adalah hasil analisa intelijen tentang kemungkinan adanya invasi negara asing dalam rentang waktu 20 tahun ke depan.
Dalam catatan sejarah, pada masa Perang Dunia Kedua, dinas intelijen Sovyet, menangkap akan adanya serbuan tentara Jepang ke Siberia. Kemudian Sovyet mengirim agen-agen terbaiknya. Salah seorang di antaranya adalah Richard Sorge yang datang ke Jepang dengan menyamar sebagai wartawan untuk media asal Jerman, Frankfrurt Zaitung. Sorge yang memiliki nama kode "Ramsey" ini masuk ke Jepang pada 1933.
Pada bulan Agustus 1941, untuk kesekian kalinya Richard Sorge mengirim informasi tentang Jepang yang berencana menginvasi wilayah Asia Tenggara sekaligus menghantam sasaran-sasaran di Pasifik. Informasi ini semakin menegaskan bahwa Jepang tidak punya rencana untuk menyerbu Soviet yang berada di utara Jepang.
Informasi yang disampaikan Sorge tersebut terbukti tepat. terbukti dengan diserangnya Pearl Harbour oleh Jepang pada Desember 1941. Dan, pada tahun berikutnya, negara Sakura tersebut menginvasi Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Analisa Intelijen, sebagaimana yang dipasok kepada Jokowi, pastinya bukan hasil imajinasi atawa halusinasi. Sebelum menyerahkan hasil analisanya, intelijen pastinya telah melakukan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) yang dihimpun dari banyak sumber. Bahan-bahan keterangan itu kemudian diolah dengan metodologi tertentu sebelum pada akhirnya menghasilkan sebuah analisa.
Dan, sebenarnya, orang awam pun mampu menghasilkan hasil analisa seakurat produk badan intelijen. Contohnya adalah artikel "Gegara Turki Ngerudal Bomber Rusia, Indonesia Bakal Kedatangan Pemudik ISIS"
Hasil analisa dalam artikel yang diunggah di Kompasiana pada 27 November 2015 tersebut terbukti benar. Terbukti sejak insiden ditembakjatuhnya pesawat bomber militer Rusia oleh pesawat militer Turki pada 24 November 2015, terjadi pergeseran kekuatan militer di Suriah, dari Amerika beserta para  sekutunya ke Rusia, Iran, dan Suriah. Pergeseran ini mengakibatkan terdesaknya ISIS di Suriah. Ujung-ujungnya, milisi ISIS asal Indonesia pun terpaksa harus mudik ke tanah air.
Gegara inseden penembakan tersebut, masyarakat internasional mengkhawatirkan meletusnya Perang Dunia Ketiga alias World War III (WW III). Kekhawatiran ini kemudian menjadikan WW III menjadi trending topik di ranah media sosial.
Tetapi, seperti yang ditulis dalam artikel tersebut, WW III tidak bakal meletus. Dasarnya (Dicopas dari artikel), "Sebelum Turki menembak jatuh SU-24, tercatat sepanjang tahun ini Rusia 50 kali melakukan pelanggaran udara di wilayah negara anggota NATO, khususnya dekat Ukraina. Dari seluruh catatan itu, tiga manuver pesawat Rusia dinilai 'ancaman', sedangkan 13 kejadian dianggap 'pelanggaran serius'. Tetapi, semua pelanggaran itu hanya melahirkan catatan.Â
Sedangkan terakhir kali Amerika terlibat kontak senjata langsung dengan Rusia terjadi pada 1952, ketika jet AS menjatuhkan empat Migs-15 di sela-sela Perang Korea, tepatnya pada operasi penyerbuan Hoeryong. Jadi insiden 24 November lalu merupakan yang pertama kali sejak lebih dari setengah abad.
Namun, nampaknya, perang dunia ketiga jauh dari kemungkinan meletus. Amerika dan negara-negara NATO lainnya terlihat menyingkir dari perseteruan Rusia-Turki. Sementara Rusia pun kecil kemungkinan menyerang Turki.
Selain artikel tersebut, hasil analisa dalam artikel "Inikah Motif Saudi Eksekusi Mati Nimr? Dan, Ancaman pada Syiah di Indonesia yang Meningkat" terbukti akurat, karena perang antara Arab Saudi melawan Iran sebagaimana yang diprediksi oleh sejumlah pengamat ternyata tidak terjadi.
Dicopas dari artikel. "Banyak yang bilang kalau Arab Saudi sengaja memancing perang terbuka dengan Iran. Misalnya, pakar isu Timur Tengah, Matthew McInnis yang mengatakan mustahil Saudi tidak menyadari eksekusi mati Nimr Al-Nimr akan memicu kecaman dan reaksi keras.
"Saudi tentu menyadari hal ini akan memicu berbagai reaksi," sebut McInnis yang kini bergabung dengan American Enterprise Institute ini kepada The Daily Beast.
Mantan analis Pentagon ini pun pun mengaitkannya dengan meningkatnya pengaruh Iran di kawasan Timur Tengah, termasuk di Saudi sendiri.
Sependapat dengan McInnis, mantan anggota CIA yang juga pakar isu Timur Tengah pada Brookings Institution, Bruce Riedel, menyebut eksekusi terhadap Nimr bertujuan memberi isyarat pada Iran.
"Saya mencurigai mereka (Saudi-red) mengharapkan reaksi Iran. Salman (Raja Saudi saat ini) adalah seorang pengambil risiko," cetus Riedel.
Sepertinya pendapat kedua pakar itu salah besar. Memang benar, Iran bereaksi keras atas eksekusi mati Nimr. Sampai-sampai pemimpin spiritual tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menyebut kematian Nimr sebagai martir dan Kerajaan Saudi akan menghadapi pembalasan-Nya. Tetapi, apakah Iran akan menyerang Saudi? Sepertinya, tidak.
Iran tidak mungkin melakukan aksi bodoh yang akan menimbulkan masalah besar bagi negaranya. Sikap Iran ini sama persis dengan Rusia yang tidak akam menyerang Turki secara militer. Menyerang Turki atau Saudi sama saja dengan menantang negara-negara NATO berperang..Jadi, sangat tidak mungkin jika Saudi sengaja memancing Iran untuk menyerang negaranya." .
Jadi, untuk sekadar memprediksi situasi ala analisa badan intelijen, penulis Kompasiana pun sanggup melakukannya, apalagi bagi sejumlah orang yang bekerja di badan intelejen yang memang terdidik dan berpengalaman dalam melakukannya.
Karenanya, bukan saja lantaran Prabowo salah dalam menangkap maksud Jokowi saat debat Pilpres 2019, tetapi juga sangat menggelikan jika Ketua Umum Partai Gerindra ini meragukan hasil analisa intelijen tentang tidak adanya ancaman invasi dari negara lain. Apalagi jika membaca rentang waktunya, yaitu 20 tahun, yang pastinya merupakan hasil olahan bahan-bahan keterangan yang sudah dimatangkan sebelum disajikan kepada presiden.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H