Kemasifan penyebaran konten hoax Ratna dan Neda ini sangat mirip dengan memviralnya informasi hoax 7 kontainer surat tercoblos asal China. Ketiganya sama-sama memaksimalkan fungsi jejaring media sosial.
Kenapa bisa begitu?
Untuk kasus Neda sulit mencari tahu jawabannya. Tapi, untuk hoax Ratna dan hoax 7 kontainer, jawabannya mudah.
Kalau dari sejumlah pantauan, netijen pendukung Prabowo yang memviralkan isu Ratna dan 7 tontainer surat suara terekam jauh lebih kompak dan militan ketimbang pendukung Jokowi. Malah menurut temuan GDILab, netijen pendukung Prabowo bergerak sebagai cyber troops dengan komando terpusat.
Sementara, masih menurut GDILab, pendukung Jokowi lebih banyak bergerak secara individual. Itulah kenapa muncul kesan bila netijen pendukung Jokowi kedodoran.
Banyak pendukung Jokowi khususnya veteran pada Pilpres 2014 yang berpendapat ada sebuah kesalahan dalam strategi kampanye di ranah media sosial.Â
Ini baru soal strategi menghadapi taktik netijen pendukung Prabowo yang gencar mempropagandakan adanya kecurangan pemilu. Padahal sedikit banyak propaganda tersebut sudah meracuni banyak netijen. Belum lagi soal serangan hitam lannya. Semisal isu beras plastik yang masih terus digelindingkan.
Pertanyaan selanjutnya, sampai kapan netijen pendukung Jokowi terus keteteran? Bisakah mengubahnya dalam 1-2 bulan ke depan? Jika dibiarkan bakal senasib dengan Mancherter United saat dibesut Jose Mourinho yang gagal mengadaptasi dinamika strategi lawan-lawannya.
Baca Juga:
Ketika Strategi ke-7 Sun Tzu Mantul ke Arah Prabowo
Â