Hanya saja, sama seperti surat suara tercoblos, kecurangan dengan modus ini pun dapat dengan mudah terbongkar. Apalagi penggunaan KTP memiliki keterbatasan.
Di samping waktu yang hanya berdurasi 1 jam, dari pukul 12.00-13.00, KTP juga hanya bisa digunakan di TPS yang berlokasi di RW sesuai KTP.
Langsung saja ke "soal cerita".
Sebut saja namanya Joko. Joko datang ke TPS 09 yang berlokasi di RT 01 RW 02 Kelurahan Watu Kali, Kecamatan Watu Krakal, Kota Watu Uloh. Kepada petugas KPPS, Joko menunjukkan e-KTP-nya.
Jika alamat pada e-KTP sama dengan lokasi TPS atau masih di wilayah RW 02, Joko berhak mencoblos di situ. Maka, petugas KPPS wajib memberikan surat suara kepada Joko.
Tetapi, bagaimana jika Joko tidak dikenal sebagai warga RW 02? Para saksi pastinya akan beraksi. Begitu juga dengan warga yang sedang riang gembira mengikuti jalannya pesta demokrasi di sekitar TPS. Belum lagi dengan sejumlah timses yang biasanya mangkal di sekitaran area TPS.
Bisa dibayangkan, Joko akan disosor sejumlah pertanyaan, diminta menunjukan rumahnya, dan lain sebagainya.
Kalau Joko tidak mampu menjawab pertanyaan dan tidak bisa menunjukkan rumahnya, maka otomatis terbongkarlah uoaya mencurangi pemilu yang dilakukannya.
Jelas sudah, mencurangi pemilu lewat modus penggunaan KTP hanyalah ilusi belaka. Apalagi jika pelaku lapangan tidak lancar berbahasa Indonesia.
Dengan begitu, isu pengerahan atau mobilisasi tenaga kerja asing asal Tiongkok untuk memenangkan Jokowi pun secara otomatis terpatahkan.
Berikutnya isu pencurangan pemilu dengan menggunakan e-KTP tercecer. Kalau yang ini menjawabnya sangat begitu mudah. Seperti yang diberitakan, masa berlaku e-KTP yang tercecer di Bogor, Jakarta Timur, dan Sumatera Barat sudah habis alias kadaluarsa. Jadi, sudah tidak bisa dipakai lagi untuk mencurangi pemilu.