Jika pada saat itu muncul TPS yang tidak diketahui keberadaannya pasti akan menimbulkan pertanyaan dari seluruh timses yang dirugikan. Bukan hanya timses capres, tetapi juga timses dari masing-masing partai dan juga timses calon DPD.
Misalnya, di Desa Wanakerta pemungutan suara dilakukan di 30 TPS. TPS 01, TPS 02, TPS 03, sampai TPS 30. Begitu rekap di tingkat desa, muncul TPS 31, TPS 32, dan TPS 33. Para timses pasti akan bertanya, "Di mana lokasi ketiga TPS tersebut, Kok, kami tidak tahu?"
Kalau gampang terbongkar, logikanya skenario TPS Fiktif sangat tidak mungkin dijalankan.
Kemudian ada lagi skenario lainnya. Konon, surat suara yang sudah dicoblos tercoblos akan dimasukkan ke dalam kotak suara. Sebagai bumbu penyedap, kotak suara kardus dimasukkan ke dalam wajan penggorengan.
Pertanyaannya, kapan, di mana  dan bagaimana surat suara tercoblos itu dimasukkan ke dalam kotak suara?
Ada yang bilang sebelum pemungutan suara digelar di TPS atau sudah diselundupkan ke dalam kotak suara di suatu tempat rahasia sebelum dibawa ke TPS.
Begini. Pemilih yang mendapati surat suara yang diterimanya sudah tercoblos dapat menggantinya dengan surat suara baru. Dan, surat suara tercoblos tersebut akan dihitung sebelum dimasukkan ke dalam amplop "Surat Suara Rusak".
Jadi, karena sudah dianggap rusak, surat suara tercoblos biarpun cuma satu tidak akan dihitung. Apalagi sampai satu kotak suara.
Atau disulap masuk kotak suara saat pemungutan suara tengah berlangsung. Ini keluguan model apalagi! Kalau yang ini sudah jelas-jelas sangat tidak mungkin.
Sebab, saat pemilu berlangsung di TPS. Ada petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara KPPS yang berjumlah 7 orang. Ada dua orang Linmas atau Hansip. Ada saksi dari semua kontestan pemilu.
Di luar itu masih ada calon pemilih yang sedang antre menunggu giliran. Ada petugas Panwaslu, TNI, dan Polri yang mondar-mandir. Ada pemantau dari masing-masing peserta pemilu. Belum lagi warga yang sedang nongkrong-nongkrong cantik di sekitar TPS.