Tingkat elektabilitas Jokowi ini jauh dibanding yang dimilikinya SBY jelang masa Pilpres 2009 dimulai. Ketika itu, elektabilitas SBY tercatat di atas 70 persen. Sampai-sampai pihak SBY berani sesumbar "Pilpres 1 Putaran".
Tetapi, seiring dengan bergulirnya masa kampanye, elektabilitas SBY pun tergerus. Dan, menurut perhitungan resmi KPU, suara yang diraih SBY adalah 62 persen. Meskipun, ketika itu satu-satunya isu yang paling gencar dihantamkan kepada SBY adalah isu neolib.
Sementara, saat ini terlalu banyak isu yang bisa diterpakan pada Jokowi. Dari isu yang sulit dicerna sampai isu yang paling mudah dikunyah.
Menyandingkan Jokowi yang dianggap sudah gagal mewujudkan janji-,janji kampanyenya dengan Prabowo yang belum tercemari oleh kegagalan tentu saja sudah sangat mengusik kubu Jokowi.
Saya usik tersebut melemah jika Prabowo dipandang sebagai bagian, atau bahkan berada di bawah, rezim Jokowi.
Karenanya, isu Prabowo yang menyerahkan proposal pencawapresannya untuk mendampingi Jokowi pun digulirkan.
Tetapi, Prabowo tahu persis jika apapun dan bagaimana pun reaksinya atas isu pertemuannya dengan Luhut akan selalu dipersalahkan. Kalau Prabowo membantahnya, dibilang ngeles oleh pro Jokowi. Sebaliknya, jika Prabowo membenarkannya maka ia akan ditinggal oleh para pendukungnya.
Karenanya, pilihan Prabowo yang tidak mengomentari pemberitaan tentang isu pencapresannya sudah sangat tepat.
Semakin kalem Prabowo dalam menanggapi isu yang dapat memojokkannya tersebut, semakin sulit bagi lawan untuk menduga-duga strateginya.
Kubu Jokowi dibuat bingung dengan langkah strategis yang akan diambil Prabowo. Karena, setidaknya, Prabowo punya tiga opsi, maju sebagai capres, sebagai king maker, atau bisa juga mengambil posisi netral.
Kebingungan kubu Jokowi atas respon Prabowo ini semakin terbaca dari digelarnya pertemuan tertutup, kali ini, antara Wiranto dengan SBY pada 19 April 2018.