Ajakan PT Pertamina tersebut menjadi lebih ringan lagi karena sebagian masyarakat indonesia sudah mengenal budidaya tanaman penghasil BBN sejak setengah abad yang lalu.
Misalnya, Desa Tanjungharjo. Masyarat desa yang berada di Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah ini telah membudidayakan jarak pagar sejak masa penjajahan Jepang. Tidak mengherankan jika desa ini terpilih sebagai desa percontohan Program DME.
Bahkan, kalau hanya untuk menanam tumbuhan penghasil BBN, Â sambil duduk santai leyeh-leyeh saja, masyarakat Indonesia sudah bisa memanen minyak.
Setelah ajakan itu diterima dan dijalankan oleh masyarakat, selanjutnya PT Pertamina tinggal membentuk UKM pengepul hasil panen yang kemudian bisa juga dikembangkan merangkap UKM pengolah BBN.
Maka, hanya dari sekadar "iseng-iseng" menggarap celah-celah yang ada pada lahan di sekitar kita saja, sudah bisa terbaca berbagai keuntungan yang bisa diambil oleh bangsa Ini.
Dibanding pengembangan produksi BBN lewat DME, upaya ini memiliki sejumlah keunggulan. Pertama, tidak membutuhkan lahan khusus sehingga tidak mengurangi fungsi lahan sebelumnya. Kedua, tidak membutuhkan waktu khusus. Ketiga, bisa dilaksanakan oleh siapa saja. Keempat, masyarakat yang berpartisipasi lebih banyak. Kelima, resiko kegagalan lebih kecil. Keenam, dan masih banyak lagi yang lainnya, seperti meningkatkan perekonomian rakyat, menguatkan budaya gotong royong, dan lainya.
Tetapi, poin terpentingnya adalah bagaimana sebisa mungkin menekan terjadinya konflik lahan sebagai akibat dari pengembangan BBN.
Karenanya, tunggu apa lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H