Sebulan kemudian, isu ini baru meramaikan media setelah Ahli hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan Jokowi sudah melanggar sumpahnya sebagai Presiden RI jika berpidato menggunakan bahasa Inggris di salah satu sesi Konferensi Tingkat Tinggi Asia Pacific Economic Cooperation di Beijing. Pernyataan Hikmahanto itu diberitakan sejumlah media, salah satunya Tempo.co yang menulis “Pidato Berbahasa Inggris, Jokowi Bisa Langgar Sumpah”.
K-er memang tidak kalau dengan yang bergelar profesor. Dua contoh itu kebetulan diambil dari tulisan saya sendiri. Karena masih banyak tulisan teman-teman lainnya yang juga menembus batas silent majority. Dan, itu baru dua contoh.
Contoh lain, misalnya, Profesor Hamdi Muluk yang mengatakan kalau PDIP tidak mendukung Ahok, partai moncong putih itu bakal hancur di Pemilu 2019. Malamnya dipostinglah tulisan ini “Tidak Dukung Ahok, PDIP Habis?”. Benar saja, belum juga sampai 2019, PDIP sudah keok di mana-mana. Okelah, kasus penistaan agama bisa dijadikan alasan keoknya PDIP. Tapi, apakah tanpa kasus itu PDIP tidak mengalami nasib sialnya di 2017? Buktinya, kasus ini tidak mempengaruhi pemilih Ahok di Jakarta.
Sewaktu banyak orang penting yang mengatakan kalau kecurangan lewat e KTP palsu itu tidak mungkin. Kata mereka tidak ada celah untuk melakukannya. Katanya, Kemendagri akan menurunkan petugas Dukcapil-nya, dll. Faktanya, sampai pemilu digelar tidak satu pun media yang memberitakan tentang diturunkannya petugas Dukcapil.
Kemudian, untuk mengatasi kecurangan, Ketua KPU meminta warga untuk mengawasi Pilgub DKI 2017. Faktanya, ada celah kecurangan dengan memanfaatkan Keputusan MK seperti yang ditulis di sini “Inilah Kerancuan Keputusan MK yang Berpotensi Timbulkan Rusuh pada Pilgub DKI 2017”. Dan, menurut Profesor Romli Atmasasmita, seperti yang di-retweet-kan kepada saya, tulisan itu masuk akal.
Dan, kalau melihat video yang memperlihatkan seorang pemilih yang kebingungan saat ditanyai posisi rumah tinggalnya, sepertinya adanya celah dalam Keputusan MK tersebut benar-benar telah dimanfaatkan.
Itu baru membandingkan opini yang tertuang dalam tulisan di Kompasiana ini dengan pendapat para profesor. Makanya, saya menuliskan “Beyond Blogging Kompasiana, Jadi Lebih dari Sekadar Mesin "Pembunuh" Silent Majority”
Kompasiana ini sudah dilecehkan di mana-mana. Di sisi lain, sekalipun masih dalam bentuk dugaan, Kompasiana ini juga diawasi. Tetapi, motif mengawasi Kompasiana berbeda dengan motif mengawasi situs-situs sejenis. Kompasiana diawasi karena gagasan penulis yang dituangkan dalam artikelnya, bukan karena muatan hoax yang disertai dengan ujuran-ujaran kebencian yang berpotensi merusak persatuan bangsa.
Kalau penulis Kompasiana mau, pasti akan menayangkan informasi yang didapatkannya. Lantas menuliskan informasi itu dengan disertai “menurut sumber yang bisa dipercaya”. Tetapi, banyak teman penulis yang memilih untuk tidak menuliskannya dengan alasan tidak mau dijebak oleh sumber yang belum jelas identitasnya.
Malah, sekalipun pemberi informasi itu sudah jelas, tetap saja ogah menayangkannya. Alasannya, mengindari dari ancaman pidana. Karena, kalau tulisa itu sudah ditayangkan dan akan melahirkan gugatan, K-er lah yang akan tertimpa musibah. Sementara, si pemberi informasi bersembunyi entah di mana.
Jangankan informasi yang belum jelas identitas pemberinya, informasi yang disampaikan oleh Antazari Azhar saja masih belum bisa diterima sebagai kebenaran. Bukahkah informasi itu masih selevel dengan bocoran Wikileaks yang bersifat unconfirmed rumor.