Kemudian, lagi-lagi ada yang mempersoalkan tentang ketidakberesan pada data rekapitulasi sementara KPU yang diunggah lewat situsnya. Coba cek di Google, menurut IT KPU, siapa caleg pada Pilleg 2009 yang mendapat suara tertinggi.
Jawabannya, pasti Caleg Nomor 1 Partai Demokrat Dapil II Sulawesi Selatan Muhammad Jafar Hafsah dengan perolehan suara 111.226.214 suara atau sekitar ¾ suara dari total DPT di seluruh Indonesia.
Apakah hasil tabulasi IT KPU yang menempatkan Jafar akan dipakai sebagai hasil resmi KPU? Jawabannya, tidak. Apakah suara yang diperoleh Jafar menurut IT KPU merupakan bukti terjadinya kecurangan? Jawabannya juga tidak.
Sejak dulu kala, hasil resmi pemilu yang diakui hanyalah data manual, bukan elektronik.
Nah, ini yang juga bikin bingung banyak netizen. Jumlah golput sekitar 30 %, kok kertas suara bisa kurang.
Jumlah golput dihitung dari jumlah pemilih dalam DPT yang tidak menggunakan hak suaranya. Jadi kalau dalam 1 TPS tercatat ada 100 jumlah pemilih menurut DPT dan pengguna suara pada TPS tersebut terdata 75 pemilih, maka jumlah golput adalah 25 orang.
Sementara, jumlah total surat suara adalah jumlah DPT ditambah 2,5 %. Jadi kalau ada 100 pemilih di TPS tersebut, maka surat suara yang diterima adalah 100 ditambah 2,5 % atau 103.
Sedangkan jumlah pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT atau pengguna KTP tidak bisa diketahui sebelum tahap pencoblosan usai.
Jadi, logika kurangnya surat suara sangat sederhana. Di TPS 01 ada 100 pemilih berdasarkan DPT. Jumlah surat suara 103 lembar. 75 dari 100 warga yang tercatat dalam DPT menggunakan hak pilihnya di TPS tersebut. Berarti jumlah golput di TPS tersebut ada 25 pemilih.
Dengan demikian surat suara bersisa 28 lembar. Kalau TPS itu kedatangan 30 pemilih yang menggunakan KTP, maka TPS tersebut akan kekurangan 2 lembar surat suara.
Jadi, logika peristiwa ini sangat sederhana. Kalau di satu TPS pengguna KTP lebih besar dari angka golput plus 2,5 % DPT, maka TPS tersebut akan kekurangan surat suara.