Kalau hanya membaca judulnya saja, tentu saja judul “Kemdagri Pastikan Tak Ada e-KTP Ganda” yang dipublikasikan oleh JPPN.com ini sangat menentramkan hati. Tetapi, kalau membaca isinya sampai habis, semakin miris rasanya. Begini isi berita yang dipublikasikan pada pada 8 Februari 2017, “
Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh mengakui, fisik kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) bisa saja dipalsukan. Namun dipastikan saat ini tidak ada lagi e-KTP ganda.. “Sudah (bersih dari data ganda),” ujar Zudan seperti dikutip oleh JPPN.com 5 hari yang lalu.
Tetapi, dalam berita itu pula Zudan menjelaskan, katanya, e-KTP ganda dan palsu merupakan dua hal yang berbeda. Disebut ganda jika satu orang bisa memiliki beberapa e-KTP dengan alamat dan data diri berbeda. Namun ketika dipergunakan, e-KTP tersebut berlaku. Karena bisa dibaca oleh alat pembaca e-KTP (card reader).
Sementara e-KTP disebut palsu, jika diperbanyak oknum dengan hanya mengganti foto, atau data seseorang. Namun ketika dicoba menggunakan card reader, data pada e-KTP tersebut tidak terbaca.
Jadi, semakin jelas perbedaan antara e-KTP palsu dengan e-KTP ganda. Semoga selanjutnya tidak ada lagi perselisihan yang hanya disebabkan perbedaan kata.
Zudan benar, e-KTP tidak bisa digandakan. Data e-KTP yang meliputi NIK, Nama, Tempat Tanggal Lahir, Alamat, Tanda Tangan dan lain-lain tidak bisa digandakan. Logikanya, tidak mungkin dua orang atau lebih yang memiliki nama yang sama, lahir ditempat da tanggal yang sama,tinggal di alamat yang sama, berstatus pernikahan sama, bentuk tanda tangan, dan data yang lainnya pun sama. Sementara anak kembar saja memiliki nama yang berbeda dan tanda tangan yang berbeda.
Jadi, 1 Nomor Induk Kependudukan atau NIK untuk 1 jiwa. Sekalipun kembar, dua atau lebih, NIK-nya berbeda-beda. Karena NIK hanya untuk 1 jiwa atau penduduk, maka tidak mungkin 1 NIK digandakan menjadi 2, 3, 4, atau lebih. Atau lebih tegas lagi, tidak mungkin e-KTP digandakan.
Tetapi, kalau disimak dengan baik penjelasan Zudan yang mengatakan “Disebut ganda jika satu orang bisa memiliki beberapa e-KTP dengan alamat dan data diri berbeda. Namun ketika dipergunakan, e-KTP tersebut berlaku. Karena bisa dibaca oleh alat pembaca e-KTP (card reader),” malah mengungkapkan fakta yang lebih miris lagi.
Dari penjelasan Zufan tersebut, satu orang bisa memiliki lebih dari satu e-KTP. Kalau ada orang yang memiliki lebih dari 1 e-KTP, logikanya, ia memiliki NIK lebih dari satu juga. Dengan demikian, ia pun memiliki (Kartu Keluarga)KK yang berjumlah lebih dari 1. Secara sistem ia memiliki lebih dari 1 NIK yang dihasilkan dari KK yang berbeda. Da secara fisik, ia memiliki lebih dari 2 lembar e-KTP dan KK.
Dan, 2 lembar atau e-KTP yang dimiliki oleh orang tersebut sah kerena lolos alat pendeteksi. Kenapa sah? Karena ia memiliki NIK yang berbeda. Jadi, ada penduduk bernama Gasa. Gasa (yang satu jiwa) memiliki 2 e-KTP. Dan kalau diteropong lewat alat secanggih apapun, kedua e-KTP yang dimiliki oleh Gasa tersebut sah. Karena dinyatakan “sah”, maka kedua e-KTP tersebut dapat digunakan untuk keperluan apa saja, termasuk untuk mencurangi pemilu.
Nah, kedua e-KTP milik Gasa tersebut tentunya memiliki 2 NIK yang berbeda. Dan, kerena memiliki 2 NIK yang berbeda, maka Gasa akan terdaftar 2 kali dalam Daftar Pemilu Tetap (DPT). Karena kedua NIK yang dimiliki Gasa terdaftar dalam DPT, maka Gasa akan mendaoat 2 Form C6.
(Minggu, 12 Februari 2017, kemarin adalah hari terakhir bagi petugas KPPS untuk membagikan C6 kepada calon pemilih di TPS tempatnya bertugas).
Karena memiliki 2 Form C6, maka Gasa memiliki 2 hak pilih. Dengan 2 Form C6 yang dimilikinya itu, Gasa bisa mendatangi TPS sebanyak dua kali dan mencoblos sebanyak dua kali. Dan, sesuai Juknis Pemilu, pemilik C6 tidak perlu lagi menunjukkan KTP-nya. Dan, kalau pun Gasa wajib menunjukkan e-KTP-nya, maka kedua e-KTP yang dimiliki Gasa tersebut dipastikan lolos deteksi.
Jadi, penjelasan Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh tersebut, dapat disimpulkan bahwa kecurangan pemilu dapat terjadi secara sistematis lewat penggunaan Form C6. Dan, pemilik C6 dapat menggunakan hak suaranya sejak pukul 07.00-13.00 atau selama TPS buka.
Lantas, bagaimana dengan e-KTP palsu?
“Sementara e-KTP disebut palsu, jika diperbanyak oknum dengan hanya mengganti foto, atau data seseorang. Namun ketika dicoba menggunakan card reader, data pada e-KTP tersebut tidak terbaca”. Dari penjelasan Zudan, dapat disimpulkan kalau e-KTP palsu ada. Bahkan, seperti yang dikatakan Zudan, “Lebih dari 95 persen kasus perbankan dimulai dari pemalsuan identitas”. E-KTP palsu ini, menurut Zudan, ketika dicoba menggunakan card reader, data pada e-KTP tersebut tidak terbaca.
Jadi, semaki jelas, secara sistem elektronik, e-KTP palsu atau ganda tidak ada, tetapi secara fisik e-KTP palsu atau ganda atau aspal ada. Dan, validitas fisik e-KTP hanya bisa diketahui, salah satunya, dengan menggunakan card reader.
Sederhannya, hanya kepada card reader ini kecurangan pemilu bisa diatasi. Karena e-KTP palsu ini tidak terdaftar dalam DPT, maka kecurangan dengan e-KTP palsu hanya bisa dilakukan antara pukul 12.00-1300. Di waktu itulah akan dilakukan pengecekan keaslian e-KTP.
Masalahnya, siapa yang berwenang mengecek e-KTP. Apakah petugas KPPS berwenang? Kalau tidak, siapa yang berwenang?
Katakanlah, sesuai klarifikasi Kemendagri pada Sabtu, 4 Februari 2017, dalam menentukan keaslian e-KTP, Kemendagri akan mengirimkan petugas Dukcapil-nya untuk berkoordinasi dengan petugas TPS.
Pertanyaannya, apakah Kemendagri akan mengirim petugas Dukcapilnya ke seluruh 13 ribu lebih TPS yang ada di DKI Jakarta? Terobosan Kemendagri ini pastinya terkait jumlah personel Dukcapil yang akan diterjunkan dan pengadaan jumlah card reader untuk tiap TPS yang berjumlah lebih dari 13 ribu tersebut. Apakah Kemendagri sanggup mememenuhinya?
Tetapi, di mana pun petugas Dukcapil diturunkan, entah itu di TPS, Kelurahan, Kecamatan, atau seterusnya, keberadaan saksi setiap paslon harus diakomodasi.
Kenapa? Karena pencocokan e-KTP ini terkait dengan perolehan jumlah suara. Dan, dalam pelaksanaan pemilu, segala sesuatu yang terkait perolehan suara harus dihadiri oleh saksi setiap kontestan pemilu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H