Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Atasi Penggandaan e-KTP, KPUD DKI Diberitakan Meminta Warga Awasi TPS

9 Februari 2017   15:04 Diperbarui: 9 Februari 2017   15:21 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Miris rasanya membaca pernyataan Ketua KPU DKI Sumarno yang diberitakan Sindonews.com ini. Pada Selasa kemarin, 7 Februari 2017, Ketua KPUD DKI Jakarta meminta bantuan semua pihak melakukan pengawasan untuk memastikan tidak ada pemilih ganda. Saat ini berkembang isu adanya penggandaan e-KTP yang akan digunakan untuk mencoblos.

Usulan Ketua KPUD DKI Jakarta tersebut tidak ada salahnya. Permintaan tersebut malah semakin membuktikan kalau penggandaan e-KTP memang benar-benar terjadi, tidak seperti yang kerap dibantah para pendukung Ahok-Djarot sebagai informasi hoax.

"Yang sedang dilakukan adalah memastikan tak ada pemilih ganda. Semuaharus turut serta melakukan pengawasan," kata Sumarno di kantor KPU DKI, Salemba, Jakarta Pusat,

Masalahnya, kata “semua” yang diucapkan oleh Ketua KPUD DKI Jakarta ditujukan juga kepada warga sebagaimana yang tertulis pada judul “Waspada Pemilih Ganda, KPU DKI Berharap Warga Ikut Awasi TPS”  

Sebenarnya, tidak jelas juga maksud “semua” yang diucapkan oleh Sumarmo. Tetapi, kalau kata “semua” dalam pernyataan tersebut juga termasuk “warga”, dikhawatirkan justru memberi legitimasi kepada warga untuk mengawasi pelaksanaan pemungutan suara di TPS.

Dalam pelaksanaan pemilu, tanpa perlu diminta pun warga sudah menjadi pengawas. Warga datang sebelum TPS dibuka. Dan, selama tahap pemungutan suara, warga masih mengawasi sambil ngobrol di sekitar TPS. Selanjutnya, pada saat perhitungan suara, warga mendekati area TPS. Mereka ikut mencatat hasil perolehan suara setiap kandidat.

Saat berlangsungnya tahapan pemilu, petugas KPPS  juga mengumumkan setiap tahapan pemilu kepada warga, jadi bukan hanya kepada saksi saja. Misalnya, petugas KPPS menunjukkan kotak suara yang kosong setelah dibongkar seluruh isinya. Jumlah surat suara berikut surat suara tambahan juga disebutkan. Demikian juga dengan jumlah DPT. Satu bukti kalau warga juga terlibat dalam pelaksanaan pemilu adalah ditempelnya lembaran DPT di sekitar area TPS.

Biar pun demikian, warga tidak pernah masuk ke dalam area TPS yang dibatasi oleh tali rafia, tembok bangunan, atau lainnya. Jangankan warga, petugas panwaslu, Polri, dan TNI pun tidak berani memasuki area TPS. Selain mencatat, sebagaimana petugas Panwaslu, PPS, TNI, dan Polri, warga diperbolehkan mengambil foto atau video. Asal, semua aktivitas itu dilakukan di luar area TPS.

Sedangkan, di dalam TPS hanya ada tujuh petugas KPPS (Hansip boleh masuk namun lebih banyak berada di luar, saksi yang didatangkan setiap kontestan pemilu, dan pemilik hak suara. Selain itu, tidak ada yang berhak memasuki wilayah TPS.

Dalam pelaksanaan pemilu, jangankan warga yang tidak dibekali petunjuk teknis pelaksanaan pemilu, para saksi yang dihadirkan pun belum tentu mengetahui tetek-bengek soal pemilu. Contohnya, ada saksi yang mengartikan surat suara tambahan hanya diperuntukkan bagi pemilih di luar DPT. Dan lebih parah lagi, ada banyak petugas KPPS yang tidak memahami pengisian Form C1.

Sekali lagi, jika “semua” yang dimaksud oleh Ketua KPUD DKI Jakarta ini termasuk juga warga sebagaimana yang artikan oleh wartawan, maka permintaan KPUD Jakarta ini justru berpotensi menimbulkan kekacauan di TPS.

Terkait dengan beredarnya penggandaan e-KTP. Bukahkah Kemendagri sudah menugaskan petugas Dukcapil-nya untuk berkoordinasi dengan petugas KPPS. Gagasan Kemendagri ini sudah tepat, hanya tinggal bagaimana mekanismenya yang harus dipublikasikan agar tidak menambah rasa saling curiga.

Situasi Pilgub DKI 2017 pastinya akan lebih panas dari Pilpres 2014. Di sini dibutuhkan ketenangan semua pihak, termasuk warga, untuk menjaga situas tetap kondusif. Janganlah, memanas-manasi (kalau tidak mau dianggap provokasi) situasi dengan melontarkan permintaan kepada “semua” pihak untuk menjadi pengawas di TPS.

Sebagai salah satu institusi penyelenggara pemilu, seharusnya seharusnya Ketua KPUD DKI Jakarta lebih peka terhadap situasi yang sedang dan akan terjadi.

Lewat pernyataan Ketua KPUD yang diartikan sebagai permintaan kepada warga untuk mengawasi TPS sama saja meminta warga untuk mencurigai kelompok etnis tertentu yang dianggap sebagai pendukung Paslon Nomor 2. Apalagi, para pendukung Paslon Nomor 2 lewat prapaganda-propagandanya selalu meneriakan kalau kasus penggandaan e-KTP hanyalah isu hoax.

KPUD DKI Jakarta juga seharusnya menyadari kalau dalam situasi seperti ini isu-isu hoax beredar dengan begitu derasnya. Isu-isu hoax ini lebih memiliki kekuatan ketika disebar oleh tokoh-tokoh tertentu. Meski, tokoh-tokoh tesebut sudah dikenal luas sebagai penyebar informasi hoax.

Hari ini beredar foto dari twitter sutradara kenamaan @jokoanwar. Foto yang memviral itu berisi Spanduk “Save SBY” sebagai pihak pemasang ditulis “Rampas DKI 1”. Tentu saja, spanduk ini Paslon Agus-Sylvy dituduh sebagai pemasangnya. Siapa saja bisa memasang spanduk tersebut. Semua paslon dan pendukungnya mempunyai kemampuan untuk memasangnya.

Hanya saja, apa sudah dipastikan kalau spanduk tersebut dipajang oleh pendukung Paslon Nomor 1? Apakagi dalam spanduk itu tercantum kata “Rampas”. Kata ini bukan SBY “banget”. Tapi, siapa pun pemasangnya, selayaknya spanduk-spanduk yang tidak jelas tersebut jangan diviralkan.

Di media sosial saat ini beredar sejumlah foto dan video yang tidak jelas kapan dan di mana kejadian tersebut diambil. Namun, foto dan video tersebut diyakini oleh sejumlah netizen sebagai sebuah kebenaran dan kemudian dikaitkan dengan pelaksanaan Pilgub DKI 2019. Apa jadinya kalau foto dan video yang belum bisa dipastikan kebenarannya itu diterima oleh warga yang mendapat legitimasi sebagai pengawas TPS?

Sedikit curcol.

Saat Pilpres 2014 terjadi intimidasi oleh seseorang kepada petugas TPPS. Orang itu memaksa beberapa orang (tidak jelas jumlahnya) untuk ikut memilih dengan menggunakan KTP. Intimidasi itu dilawan dengan mengikuti aturan yang berlaku. Kepada orang tersebut dijelaskan kalau penggunaan KTP buru bisa antara pukul 12.00 sampai 13.00. KTP yang digunakan pun harus beralamat di sekitar TPS. Di luar itu akan ditolak.

Belum kelar penjelasan itu disampaikan, bapak-bapak dan warga yang berada di sekitar TPS berdiri di tempatnya masing-masing. Begitu salah seorang di antaranya mendekat, pengitimidasi pun ngeloyor dengan sendirinya.

Jadi, keberadaan warga di sekitar TPS besar manfaatnya. Semenjak tenda TPS didirikan sampai kembali dirubuhkan, peran warga sagat besar. Tetapi, apakah peran warga itu harus “dilegitimasi” dengan memintanya untuk menjadi pengawas di TPS.

Kalau benar Ketua KPUD DKI Jakarta Sumarmo meminta warga untuk mengawasi TPS sebagaimana judul berita, itu sama saja dengan memakaikan seragam loreng pada masyarakat sipil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun