Terkait dengan beredarnya penggandaan e-KTP. Bukahkah Kemendagri sudah menugaskan petugas Dukcapil-nya untuk berkoordinasi dengan petugas KPPS. Gagasan Kemendagri ini sudah tepat, hanya tinggal bagaimana mekanismenya yang harus dipublikasikan agar tidak menambah rasa saling curiga.
Situasi Pilgub DKI 2017 pastinya akan lebih panas dari Pilpres 2014. Di sini dibutuhkan ketenangan semua pihak, termasuk warga, untuk menjaga situas tetap kondusif. Janganlah, memanas-manasi (kalau tidak mau dianggap provokasi) situasi dengan melontarkan permintaan kepada “semua” pihak untuk menjadi pengawas di TPS.
Sebagai salah satu institusi penyelenggara pemilu, seharusnya seharusnya Ketua KPUD DKI Jakarta lebih peka terhadap situasi yang sedang dan akan terjadi.
Lewat pernyataan Ketua KPUD yang diartikan sebagai permintaan kepada warga untuk mengawasi TPS sama saja meminta warga untuk mencurigai kelompok etnis tertentu yang dianggap sebagai pendukung Paslon Nomor 2. Apalagi, para pendukung Paslon Nomor 2 lewat prapaganda-propagandanya selalu meneriakan kalau kasus penggandaan e-KTP hanyalah isu hoax.
KPUD DKI Jakarta juga seharusnya menyadari kalau dalam situasi seperti ini isu-isu hoax beredar dengan begitu derasnya. Isu-isu hoax ini lebih memiliki kekuatan ketika disebar oleh tokoh-tokoh tertentu. Meski, tokoh-tokoh tesebut sudah dikenal luas sebagai penyebar informasi hoax.
Hari ini beredar foto dari twitter sutradara kenamaan @jokoanwar. Foto yang memviral itu berisi Spanduk “Save SBY” sebagai pihak pemasang ditulis “Rampas DKI 1”. Tentu saja, spanduk ini Paslon Agus-Sylvy dituduh sebagai pemasangnya. Siapa saja bisa memasang spanduk tersebut. Semua paslon dan pendukungnya mempunyai kemampuan untuk memasangnya.
Hanya saja, apa sudah dipastikan kalau spanduk tersebut dipajang oleh pendukung Paslon Nomor 1? Apakagi dalam spanduk itu tercantum kata “Rampas”. Kata ini bukan SBY “banget”. Tapi, siapa pun pemasangnya, selayaknya spanduk-spanduk yang tidak jelas tersebut jangan diviralkan.
Di media sosial saat ini beredar sejumlah foto dan video yang tidak jelas kapan dan di mana kejadian tersebut diambil. Namun, foto dan video tersebut diyakini oleh sejumlah netizen sebagai sebuah kebenaran dan kemudian dikaitkan dengan pelaksanaan Pilgub DKI 2019. Apa jadinya kalau foto dan video yang belum bisa dipastikan kebenarannya itu diterima oleh warga yang mendapat legitimasi sebagai pengawas TPS?
Sedikit curcol.
Saat Pilpres 2014 terjadi intimidasi oleh seseorang kepada petugas TPPS. Orang itu memaksa beberapa orang (tidak jelas jumlahnya) untuk ikut memilih dengan menggunakan KTP. Intimidasi itu dilawan dengan mengikuti aturan yang berlaku. Kepada orang tersebut dijelaskan kalau penggunaan KTP buru bisa antara pukul 12.00 sampai 13.00. KTP yang digunakan pun harus beralamat di sekitar TPS. Di luar itu akan ditolak.
Belum kelar penjelasan itu disampaikan, bapak-bapak dan warga yang berada di sekitar TPS berdiri di tempatnya masing-masing. Begitu salah seorang di antaranya mendekat, pengitimidasi pun ngeloyor dengan sendirinya.