Sejak kemarin, Sabtu 4 Februari 2017, di media sosial beredar foto-foto KTP “palsu”. Dan pada malam harinya, sekitar pukul 19.58 WIB, Kementerian Dalam Negeri sudah mengklarifikasinya. Lewat admin akun @Kemendagri_RI, Mendagri Tjahjo Kumolo dan Ditjen Kemendagri mengatakan sudah mengecek seluruh NIK dan data yang tertera pada KTP-e palsu dan bukan dikeluarkan oleh Depdagri.
Hasilnya, antara data dan foto terdapat perbedaan. Artinya, menurut @Kemedagri_RI data pada KTP-e milik orang lain, namun diganti diganti dengan foto orang yang sama.
Namun demikian, Depdagri juga tidak menampik kalau pemalsuan KTP-e terkait dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2017. Mendagri juga mengingatkan masyarakat untuk tidak perlu khawatir. Karena saat pelaksanaan pilkada, petugas di TPS bisa berkoordinasi dengan dinas Dukcapil. Dan hanya perlu waktu 2 menit bagi Dukcapil untuk membuktikan keaslian KTP.
Pertanyaan pertama, di mana Kemendagri akan menempatkan Dukcapil agar bisa berkoordinasi dengan petugas KPPS? Apakah di tiap TPS? Kalau Dukcapil ditempatkan di setiap TPS yang ada di DKI Jakarta. artinya minimal Dukcapil harus mengirimkan 12.538 petugas. Jumlah petugas Ducapil ini disesuaikan dengan jumlah TPS (ada sejumlah versi jumlah TPS untuk Pilgub DKI Jakarta 2017. Angka 12.538 bersumber dari data data.kpu.go.id) yang ada di DKI Jakarta dalam Pilgub DKI 2017.
Pertanyaan lanjutannya, kalau untuk satu TPS akan ditempatkan satu (jumlah minimal) petugas Dukcapil, artinya Kemendagri juga membutuhkan 12.538 alat scanner untuk memeriksa keaslian KTP-e dan alat itu harus harus bisa bekerja secara online karena harus terhubung dengan database KTP-e Kemendagri.
Maka, selain membutuhkan 12.538 petugas Dukcapil, Kemendagri juga membutuhkan 12.538 alat scanner KPT-e. Apakah Kemendagri sanggup memenuhi kebutuhan tersebut?
Pertanyaan kedua, dengan asumsi petugas Dukcapil akan ditempatkan di setiap PPS atau kelurahan. Bagaimana petugas di TPS atau KPPS berkoordinasi dengan Dinas Dukcapil yang ditugaskan Kemendagri? Apakah via telepon atau ketemu langsung aka bertatap muka? Tetapi, karena masalah alokasi waktu yang hanya 1 jam sangat tidak mungkin pengecekan dilakukan secara tatap muka.
Kalau via telepon, berarti antara pukul 12.00 sampai pukul 13.00 (waktu yang diperuntukkan bagi pemilih yang menggunakan KTP atau identitas lainnya), petugas Dukcapil akan dibanjiri oleh panggilan telepon. Hal ini karena setiap ada calon pemilih yang menggunakan KTP-nya petugas KPPS harus mengeceknya ke Dukcapil. Betapa chaos-nya telepon petugas Dukcapil antara pukul 12.00-13.00.
Tetapi, karena yang dicek adalah fisik KTP-e, maka petugas KPPS harus menyetor KTP-e pemilih untuk dicek lewat scanner. Artinya, mau tidak mau antara petugas KPPS dengan petugas Dukcapil harus bertemu muka. Masalahnya, sekali lagi, pada alokasi waktu yang hanya 1 jam.
Jadi, kembali ke Kemendagri, apakah petugas Dukcapil akan ditempatkan di setiap TPS yang berarti harus mengadakan minimal 12.538 petugas dan 12.538 alat scanner atau ditempatkan di setiap PPS?
Pertanyaan ketiga. Bukankah setelah mengeluarkan DPS atau Daftar Pemilih Sementara, KPU mengadakan Coklit atau Pencocokan dan Penelitian. Kalau saat Coklit, petugas tidak dilengkapi dengan alat scanner, sudah pasti KTP-e palsu akan lolos. Lolosnya KTP-e palsu saat Coklit ini pastinya akan dicatat dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap).
Dengan demikian, Si Calon Pemilih yang memiliki KTP-e palsu itu akan mendapatkan Form C6 atau surat panggilan memilih di TPS berdasarkan DPT-nya. Dan dengan menggunakan Form C6 tidak perlu menunjukkan KTP-e miliknya untuk dapat mencoblos. Jadi, kesimpulannya, kalau sudah lolos coklit, semua akan terdaftar dalam DPT, termasuk pemilik KTP-e palsu, dan dengan Form C6 yang dimilikinya ia berhak mencoblos di TPS terpilih.
Dan, perlu diingat juga, KTP hanyalah satu dari sejumlah identitas yang dapat digunakan calon pemilih untuk menggunakan hak suaranya. Selain KTP, pengguna hak suara yang tidak terdaftar dalam DPT juga bisa menunjukkan SIM, Paspor, dan lainnya. Nah, bagaimana dengan SIM palsu. Sebagaimana diberitakan, ternyata TKA asal China memiliki SIM yang diduga palsu dan NPWP.
Masalah di atas belum termasuk kemungkinan di-hack-nya scanner Dukcapil. Menurut isu yang mem-viral di medsos, ada sekitar 25 hacker asing asal China yang didatangkan untuk mengubah hasil penghitungan suara. Perubahan hasil penghitungan suara elektronik jelas hoax, karena perolehan suara yang diakui oleh KPU hanyalah yang manual bukan elektronik. Tetapi, melihat dari klarifikasi Kemendagri, tidak menutup kemungkinan yang diterobos oleh hacker adalah sistem data base KTP-e.
Dengan adanya lubang yang mengaga dalam klarifikasi Kemendagri lewat akun Twitter-nya, maka sudah bisa dibayangkan kalau pada Pilgub DKI 2017 ini akan diwarnai oleh berbagai kecurangan. Dan lagi-lagi, Jokowi sebagai kepala negara harus bertanggung jawab atas sengkarutnya Pilkada Serentak 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H