Sejak kemarin, Sabtu 4 Februari 2017, di media sosial beredar foto-foto KTP “palsu”. Dan pada malam harinya, sekitar pukul 19.58 WIB, Kementerian Dalam Negeri sudah mengklarifinya. Lewat admin akun @Kemendagri_RI, Mendagri Tjahjo Kumolo dan Ditjen Kemendagri mengatakan sudah mengecek seliruh NIK dan data yang tertera pada KTP-e palsu dan bukan dikeluarka oleh Depdagri. Hasilnya, antara data dan foto terdapat perbedaan. Artinya, menurut @Kemedagri_RI data pada KTP-e milik orang lain, namun diganti diganti dengan foto orang yang sama.
Namun demikian, Depdagri juga tidak menampik kalau pemalsuan KTP-e terkait dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2017. Mendagri juga mengingatkan masyarakat untuk tidak perlu khawatir. Karena saat pelaksanaan pilkada, petugas di TPS bisa berkoordinasi dengan dinas Dukcapil. Dan hanya perlu waktu 2 menit bagi Dukcapil untuk membuktikan keaslian KTP. (Soal klarifikasi Kemendagri ini aan disambung pada artikel setelah ini. Sebab ada yang dilupaan oleh Kemendagri, yaitu coklit)
Pelaksanaan Pikada Serentak 2017, khususnya Pilgub DKI Jakarta 2017 memang diwarnai banyak isu tentang kecurangan. Salah satunya, adalah isu didatangkannya 25 hacker asal Tiongkok untuk mengubah perolehan suara untuk memenangkan Paslon Ahok-Djarot. Selain itu ada juga isu tentang adanya sejumlah TPS fiktif di sejumlah wilayah di DKI Jakarta.
Isu Hoax Pertama: Hacker Asal China
Isu datangnya 25 hacker asal China bisa hoax bisa juga tidak. Tetapi, kalau pun 25 hacker tersebut benar ada dan mampu merubah angka perolehan suara, tetap saja angka-angka yang diubah oleh para hacker tersebut tidak berguna sama sekali. Sebagaimana yang sudah diatur, perolehan suara yang sah digunakan adalah yang dihitung secara manual, bukan secara elektronik yang mudah dibajak.
Angka-angka perolehan suara secara manual ini didapat dari rekapitulasi Form C1 yang bersumber dari setiap TPS. Dalam Form C1, semua anggota KPPS tanpa terkecuali ikut menandatangani, demikian juga dengan saksi seluruh kontestan pemilu.yang hadir di TPS. Form C1 ini terdapat beberapa copy atau salinan, tergantung dari jumlah paslon atau kontestan. Dan tiap-tiap saksi, tanpa terkecuali, menerima satu copy yang sudah ditandatangain oleh seluruh anggota KPPS dan seluruh saksi.
Form C1 yang bersumber dari tiap TPS ini akan direkapitulasi menurut keluruahan tempat TPS berada. Saat rekapitulasi di kelurahan seluruh saksi paslon dan Ketua dan Wakil Ketua KPPS hadir. Dan, semua yang terdapat di Form C1 dibacakan tanpa terkecuali. Dari kelurahan, hasil rekapitulasi diteruskan ke jenjang yang lebih tinggi, kecamatan, kotamadya/kabupaten, sampai tingkat propinsi. Dari hasil rekaputulasi itulah KPUD menetapkan pemenang pemilu.
Dan, pada saat tahap penghitungan suara, setiap kali seorang anggota KPPS membuka kertas suara disaksikan oleh seluruh anggota KPPS, saksi paslon, dan masyarakat yang hadir di sekitar TPS. Setekah hasil penghitungan suara selesai, semua anggota masyarakat berhak mengambil foto atau merekamnya dengan video. Jadi kesaksisan pengamat Umar Abduh tentang hanya anggota TNI/Polri yang mempunya foto hasil pengitungan suara adalah hoax.
Isu Hoax Kedua: TPF Fiktif
Demikian juga dengan keberadaan TPS fiktif. Kalau ada satu saja TPS fiktif pasti akan ketahuan begitu dilangsungkannya gelar rekapitulasi di kelurahan. Karena para saksi akan bertanya di mana lokasi TPS fiktif itu berada. Selain itu, siapa saja yang menandatangani Form C1 pada TPS fiktif tersebut. Maka bisa dipastikan keberadaan TPS fiktif sama saja dengan kedatangan 25 hacker asal China: keduanya hoax.
Isu Hoax Ketiga: Surat Suara Siluman
Beredar juga informasi tentang adanya surat suara yang dimasukkan secara diam-diam ke dalam kotak suara. Bagaimana bisa modus surat suara siluman ini dilakukan? Jawabannya tidak bisa!
Pertama, saat pertama kali membuka kotak suara yang berisi berbagai macam perlengkapan pemilu, ketua KPPS menunjukkan isi dari kotak suara. Dan setelah membongkar isinya, Ketua KPPS menunjukkan kalau kotak suara itu telah kosong.
Kedua, setelah masa pemungutan suara berakhit dan memasuki tahap pengitungan suara dimulai, Ketua KPPS juga menunjukkan kalau semua suarat suara sudah dikeluarkan dari kotak suara. Kemudian menunjukkan kalau kotak suara telah kosong. Dan, semua “pertunjukan” itu dalam pantauan seluruh anggota KPPS, seluruh saksi, dan masyarakat.
Kemudian, jumlah surat suara cadangan adalah jumlah DPT plus 2,5%. Kalau ada surat suara lain selain surat suara yang berjumlah DPT plus 2,5 % maka akan terjadi kekacauan pada Form C1. Dalam Form C1, semua angka dalam setiap kolom saling kait. Salah satu kolom saja trdapat kesalahan, maka akan mengakibatkan kegagalan pemilu di TPS tersebut. Contohnya adalah pilpres ulang di sejumlah TPS pada Pilpres 2014 yang diakibatkan oleh selisih jumlah pemilih, kertas suara yang digunakan, surat suara sah, surat suara tidak sah, dan suarat suara yang dikembalikan. Jadi, informasi ini sama dengan informasi sebelumnya: hoax.
Ini Dia Celah Kecurangan Pemilu yang Bukan Hoax
Tetapi, kecurangan pemilu bukannya tidak mungkin. Sangat mungkin. Bahkan celah untuk melakukan kecuragan itu seolah terbuka lebar. Siapa pun bisa melakukan kecurangan tersebut. Hanya saja, kecurangan pemilu hanya bisa dilakukan sebelum tahap penghitungan suara. Setelah tahan penghitungan suara, tidak ada lagi celah untuk melakukan kecurangan, karena saat memasuki tahap penghitungan suara semua yang ada di sekitar TPS adalah saksi dari tahap tersebut.
Lalu, apa saja celah-celah kecurangan pemilu tersebut?
Celah Pertama: DPT Ganda
Pertama, jelas DPT ganda. DPT ganda ini menghasilkan Form C6 atau surat undangan mencoblos menjadi ganda. Form C6 ini yang ditunjukkan oleh pemiliknya kepada petugas TPS. Kemudian petugas TPS akan mencocokkan data pada Form C6 dengan DPT. Dan, pemilih yang membawa Form C6 tidak perlu menunjukkan KPT atau identitas lain. Jadi, setiap Form C6 bisa digunakan oleh siapa saja untuk mencoblos di TPS.
Kalau Elde terdaftar dua kali dalam DPT, maka Elde mendapat 2 Form C6. Elde bisa mencoblos 2 kali. Atau memberikan salah satu Form C6 yang dimilikinya kepada orang lain untuk mencoblos di TPS yang sama. Ini contoh sederhana dari kecurangan dengan memanfaatkan DPT ganda.
Celah Kedua: Form C6 Sisa.
Berdasarkan pengalaman sebagai Ketua KPPS, ada sejumlah Form C6 yang tidak sampai ke calon pemilih. Ada berbagai alasan. Ada yang alamat dalam DPT berada jauh dari TPS. Ada juga nama calon pemilih yang tidak dikenal. Form C6 yang tidak sampai kepada calon pemilih ini tidak memiliki aturan untuk menindaklanjutinya. Apakah Form C6 sisa itu mau dilaporkan, mau dibakar, atau mau dijual, tidak ada aturannya. Jadi, Form C6 sisa ini bisa dimanfaatkan untuk mencurangi pemilu.
Celah Ketiga: Penggunaan KTP atau identitas lainnya
Penggunaan KTP atau identitas lainnya dilakukan karena pemilik suara yang dijamin oleh konstitusi itu tidak tercantum dalam DPT. Penggunaan KTP dan identitas lainnya ini baru dapat dilakukan setelah pukul 13.00. Cara ini baru dilaksanakan pada saat Pilpres 2009. Sebelumnya, pada saat Pileg 2009 dan pemilu sebelumnya, cara ini belum diterapkan.
Di daerah ada banyak RT yang pemilihnya terbagi ke dalam 2 TPS. Misalnya, TPS A terdiri dari 100 % pemilih asal RT X dan 50 % pemilih asal RT Y. Dan 50 % pemilih asal RT Y sisanya terdaftar dalam DPT di TPS B.
Mike adalah pemilih di TPS A yang berasal dari RT X. Sebelum pukul 13.00, Mike menggunakan hak pilihnya di TPS A di mana dirinya terdaftar dalam DPT dan sesuai dengan Form C6 yang diterimanya. Setelah pukul 13.00, Mike dapat kembali mencoblos di TPS B dengan menggunakan KTP atau identitas lain yang dimilikinya. Kedatangan Mike ke TPS B dengan menunjukkan KPT ini tidak boleh ditolak oleh petugas di TPS B. Alasannya. Mike berada di RT Y yang masih berada dalam layanan TPS B dan Mike tidak tercantum dalam DPT di TPS B. Dan, dengan KTP elektroniknya yang asli Mike akan lolos dari pemeriksaan Dukcapil.
Kalau ada yang mengatakan Mike tidak bisa memilih di TPS B setelah ia memilih di TPS A karena adanya tanda tinta pada jarinya. Selama pemilu digelar, hanya pada Pemilu 1999 kualitas tinta bagus dan baru bisa dihapus atau terhapus setelah beberapa hari. Setelah Pemilu 1999, kualitas tinta buruk. Tinta yang menempel pada jari bisa dihapus dengan bersih hanya dengan mencucinya kurang dari 5 menit.
Celah Ketiga: Bauran Form C6 dan Penggunaan Identitas
Celah ini hanya bisa dilakukan di lokasi yang sesama penguni nyaris tidak saling mengenali, misalnya di apartemen, perumahan mewah, dll. Langsung ke contoh. Jati yang tinggal di apartemen terdaftar di TPS A dan mendapat Form C6. C6 atas nama Jati ini kemudian diberikan kepada Anuz yang tinggal di luar wiyalah TPS A.
Sebelum pukul 13.00 Anuz datang ke TPS A dengan menyerahkan Form C6 atas nama Jati. Petugas TPS A pastinya akan menerima Form C6 atas nama Jati dan mencocokkannya dengan DPT. Dengan C6 atas nama Jati tersebut, Anuz bisa mencoblos di TPS A. Kemudian setelah pukul 13.00, Jati datang ke TPS A denga menyerahkan KTP-e miliknya kepada petugas KPPS. Alasanya, Jati tidak terdaftar dalam DPT. Petugas KPPS pastinya tidak mencocokkan KTP-e milik Jati dengan DPT yang dipegangnya.
Kemudian, Jati menyerahkan KTP-e kepada Dukcapil untuk diperiksa. KTP-e milik Jati ini tentu saja yang asli ini pastinya lolos dari pemeriksaan Dukcapil. Setelah lolos, Jati dapat memilih di TPS A.
Celah Keempat: Mobilisasi Pemilih Lewat C5
Celah lainnya adalah dengan memanfaatkan Form C5. Form C5 ini diberlakukan bagi calon pemilih yang memilih di luar TPS tempat ia terdaftar dalam DPT. Misalnya, Venus yang terdaftar di TPS A tetapi menggunakan hak suaranya di TPS B yang berlainan kota. Untuk itu Venus harus menyerahkan Form C5 kepada petugas KPPS.
Masalah pada Form C5 ini adalah pada waktu pengajuannya. Semakin mepet dengan Hari H pemilu, maka kemungkinan kecurangan lewat “jalur” ini semakin terbuka. Kenapa? Karena semakin mepet, petugas PPS yang ada di kelurahan tidak memiliki waktu cukup untuk mencoret nama pemohon Form C5 dari DPT. Apalagi kalau DPT sudah dibagikan ke petugas KPPS.
Jadi, bisa saja Venus yang sudah mencoblos dengan menggunakan Form C6 di tempat dia terdaftar dalam DPT, kemudian kembali mencoblos di TPS B dengan mengunakan Form C5.
Bagaimana Cara Melawan Kecurangan Pemilu?
Cara yang paling ideal adalah dengan menggerakkan semua pemilih yang tercatat dalam DPT untuk menggunakan hak suaranya. Dengan demikian angka kecurangan pemilu bisa ditekan sampai 2,5 % seuai dengan jumlah surat suara cadangan. Tetapi menekan suara golput bisa dikatakan tidak ubahnya dengan menggarami air laut. Tidak akan berhasil.
Cara lain yang paling ampuh adalah dengan membandingkan Form C7 dari setiap TPS yang akan dicocokkan. Form C7 ini berisi data keseluruhan pemilih, mulai dari pemilih berdasar DPT, pemilih dengan Form C5, sampai pemilih yang menggunakan KTP atau identitas lainnya. Form C7 ini baru ada pada saat Pilpres 2014. Pada Pileg 2014 Form C7 tidak diberlakukan.
Dari Form C7 ini bisa diketahui apakah Mike sebelumnya memilih di TPS A atau tidak. Apakah nama Jati tercantum dua kali dalam C7 dengan menggunakan Form C6 dan KTP-e? Demikian juga dengan Elde yang memiliki dua lembar Form C6.
Sayangnya, KPU tidak memberi banyak informasi tentang Form C7 ini. Hanya atas inisiatif pribadi. Form C7 di TPS tempat saya mengabdi kepada bangsa dan negara di-fotocopy, lalu dibagikan kepada saksi.
Jadi, kepada seluruh saksi, mintakan fotocopy Form C7. Form C7 ada bebarapa lembar. Form ini bisa digandakan dengan cara ditulis atau di-fotocopy. Tidak ada aturan yang mengatur soal Form C7 ini.
Terakhir, kepada petugas KPPS yang bertugas, bertindaklah sesuai dengan aturan yang berlaku. Tegaslah pada intimidasi yang terjadi. Pada Pilpres 2014, comtohnya, ada sejumlah intimidasi yang dialami oleh petugas KPPS. Ada pengintimidasi yang berbadan besar seukuran Pak Jos yang panjang jari tangannya saja lebih panjang dari sumpit Hokben.
Pengintimidasi ini memaksa petugas KPPS untuk menerima sejumlah orang yang ber-KTP diluar kota untuk mencoblos di TPS tempat saya mengabdi untuk bangsa dan negara. Hanya dengan ketegasan dalam melaksanakan pemilu sebagaimana mestinya, intimidasi itu bisa dilawan.
Karena celah-celah kecurangan pemilu itu memang ada, dan bukan hoax, sebaiknya para timses ketiga paslon Pilgub DKI 2017, Agus, Ahok, dan Anies untuk lebih memusatkan perhatian kepada celah-celah yang ada. Jangan teralihkan pada isu-isu hoax yang tidak logis yang beredar.
Satu lagi. Ini tidak kalah penting. Para saksi harus diajarkan pengisian Form C1 secara benar. Jangan sampai kejadian seperti Pilpres 2014 terulang di mana banyak saksi yang dihadirkan ke MK oleh paslon Prabowo-Hatta, ternyata tidak memahami pengisian Form C1.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H