“Perbanyak tulisan positif yang bikin rakyat semangat,“ himbau Presiden Republik Indonesia Joko Widodo kepada Kompasianer di sela-sela pergantian pose untuk foto bersama seusai santap siang di Istana Negara pada 19 Mei 2015.
Sebulan kemudian, tepatnya 25 Juni 2015, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik. Inpres ini diterbitkan untuk menunjang keberhasilan Kabinet Kerja, menyerap aspirasi publik, dan mempercepat penyampaian informasi tentang kebijakan dan program pemerintah.
Kemudian, berdasarkan Inpres tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia meluncurkan program Government Public Relations(GPR). Program yang termasuk prioritas kerja Kemkominfo ini diluncurkan untuk memastikan masyarakat mengetahui apa yang dilakukan pemerintah dan berpartisipasi dalam pembangunan.
Keterlibatan masyarakat dalam program GPR pastinya bukan sekadar menyampaikan keberhasilan-keberhasilan yag berhasil dicapai oleh pemerintah. Tetapi, lebih dari itu, partisipan GPR pun ditantang untuk mampu melawan isu-isu yang berpotensi merongrong kredibilitas pemerintah.
Mendukung Pemerintah Bukan Berarti Membigotkan Diri
GPR yang digadang oleh Kemkominfo pastinya tidak lepas dari hiruk-pikuk kehidupan dunia maya, khususnya media sosial. Di dunia inilah warga maya partisipan GPR bergelut dengan berbagai isu, baik itu isu positif maupun isu negatif.
Menariknya, sama seperti paradigma “bad news is good news” yang melekat pada media arus utama, media sosial pun menganut paradigma ini. Setiap kali muncul konten negatif, tanpa ragu lagi warga maya langsung menelannya mentah-mentah dan langsung men-share-nya.
Tidak masalah kalau konten yang di-postingitu bermuatan kritik atau masukan. Justru konten tersebut berdampak positif bagi pemerintah, bahkan sangat dibutuhkan. Artikel berjudul “Demo 4 November 2016: Kemampuan Komunikasi Jokowi Akan Diuji” yang ditayangkan di Kompasiana pada 29 Oktober 2016 ini misalnya. Dalam artikel tersebut berisikan prediksi terkait unjuk rasa 411 dan masukan bagi presiden.
Prediksi yang dituliskan dalam artikel tersebut akhirnya terbukti saat unjuk rasa besar-besaran digelar pada 4 November 2016. Bahkan, jumlah pendemo yang diprediksikan dalam artikel tersebut jauh lebih akurat dibanding informasi intelijen yang dipasok kepada Presiden. Dalam artikel tersebut diprediksikan jumlah pendemo mencapai ratusan ribu orang. Sementara informasi intelijen yang dterima Jokowi hanya sebanyak 18.000.
Demikian juga dengan artikel yang memberi masukan kepada Jokowi dan petinggi negara lainnya untuk tidak asal mengeluarkan pernyataan terkait aktor di balik aksi 411. Saran yang dituliskan dalam artikel yang ditayangkan 3 hari sebelum aksi unras berlangsung sama persis dengan kritik dan masukanKetua PBNU Said Aqil Siradj 3 hari setelah unras digelar.
Dua artikel yang ditayangkan di Kompasiana tersebut hanya yang terkait dengan aksi 411. Di samping dua artikel tersebut, masih banyak lagi artikel yang memberi masukan kepada pemerintah. Informasi yang dijadikan bahan rujukan pun bukan hanya yang bersumber dari media, tetapi juga dari sejumlah pengamatan di lingkungan sekitar.