Kembali ke soal popularitas dan elektabilitas. Sekalipun sejumlah rilis survei sulit dpercaya kebenarannya, tetapi terbaca ada garis besar yang sama. Elektabilitas Ahok sekitar setengah dari popularitasnya. Sementara elektabilitas Risma lebih dari setengah tingkat popularitasnya. Artinya, dari seluruh responden yang mengenal Ahok hanya setengahnya saja yang akan memilihnya. Sementara, dari seluruh responden yang mengenal Risma, lebih dari setengahnya akan memilih Risma.
Dan, kalau melihat dari tingginya sorotan media kepada Risma terkait Pilgub DKI 2017 ini, maka meningkatkan popularitas Risma bukanlah pekerjaan yang sulit. Karena liputan media itu, calon pemilih dikenalkan kepada sosok Risma. Melihat prestasi yang berhasil diraih Risma selama memimpin Surabaya, sudah barang tentu elektabilitas Risma pun akan mengikuti kenaikan popularitasnya.
Di sisi lain, kalau melihat pengalaman Pilgub DKI 2012 dan Pilpres 2014, posisi Risma dan juga Yoyok yang sarat akan prestasi ini akan membuahkan serangan kampanye hitam terhadap keduanya. Sekali lagi, kampanye hitam, bukan kampanye negatif. Kampanye ini berisi kebohongan, fitnah, pelintiran dan lain sebagainya. Rumusannya sederhana saja, kebohongan yang disampaikan secara terus menerus akan diterima sebagai sebuah kebenaran. Dengan demikian, kampanye hitam ini diperkirakan sudah dilancarkan sejak keduanya didaftarkan sebagai pasangan calon.
Tanpa dihadang oleh kampanye hitam, pasangan Risma-Yoyok bakal mudah memenangi Pilgub DKI 2017. Bahkan bisa dikatakan, pasangan ini sudah memenangi pilkada meski keduanya baru menyetorkan berkas pendaftaran ke KPUD DKI. Selanjutnya Risma bisa dicapreskan pada 2019. Kalau ini terjadi, maka pada 2020 nanti ada belasan kompasianer yang dijamu makan siang di Istana oleh Presiden RI Tri Rismaharini. Dan@, saya menjadi salah seorang di antara mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H