Sama dengan sewa-menyewa lainnya, HGB bisa diperpanjang. Hanya, sesuai aturannya, perpanjangan HGB harus dilakukan 2 tahun sebelum masa berlaku berakhir. Jadi, karena masa sewa YKSW habis pada 26 Mei 2018, Â maka kalau mau memperpanjang YKSW harus sudah memperpanjangnya pada 26 Mei 2016.
Kalau YKSW tidak memperpanjangnya, maka YKSW bisa membongkar bangunan di atas lahan yang disewanya selambat-lambatnya 1 tahun setelah masa berlaku HGB berakhir. Jadi, pada 26 Mei 2019 bangunan RS SW harus sudah dibongkar.
Kalau Ahok mengatakan, "Kalau diterjemahkan (pertanyaan BPK-P DKI) 'Selesai ini (HGB), kita ambil balik. Kaya kita, Pak. Itu siapa yang ngajarin begitu, Pak, undang-undangnya? Bapak baca, enggak, undang-undangnya?' Aku gituin kemarin di KPK. Tunggu saja semua (habis). Berarti semua kantor gedung, semua mal, pakai HGB dan HGU (hak guna usaha) toh. Kalau selesai, punya kita enggak? Di mana otak pikiran itu."
Ahok benar, setelah masa HGB habis, segala bentuk bangunan di atas lahan bukan menjadi milik negara. Karena sesuai aturanya yang dikembalikan kepada negara hanya tanahnya saja. Tetapi, kalau bangunan mau dijual atau dihibahkan kepada negara tentunya sah-sah saja.
Kemudian, orang yang menyewa ruko pastinya akan memperpanjang sewanya kalau usahanya di ruko tersebut menguntungkan. Sebaliknya, kalau merugi pastinya ia tidak akan meneruskan sewanya.
Bagaimana dengan RS SW? Pada November 2013 lahan HGB yang dikuasai YKSW dijual kepada PT Ciputra. Jelas kemungkinan besar YKSW akan menutup usahanya di atas lahan tersebut. Apalagi setelah pada Agustus 2014 RS SW digugat pailit oleh 12 mantan karyawannya.
Katakanlah YKSW pailit lantas menjual HGB-nya kepada pihak lain sebelum 26 Mei 2016. Transaksi HGB kepada pihak lain sah menurut UU. Sebab HGB bisa diserahterimakan kepada pihak lain dengan cara jual beli, hibah, tukar guling, dll. Asalkan, ada persetujuan tertulis dari pemilik lahan. Itu sama saja dengan orang yang menyewa ruko selama 10 tahun dan pada tahun ke 8, hak sewa itu dijual kepada pihak lain.
Pertanyaan menariknya, kalau harga ruko Rp 500 juta, apakah harga sewa ruko tersebut Rp 500 juta atau sama dengan harga jualnya? Tentu saja tidak. Harga sewa biasanya ditetapkan sepersekian dari harga jual. Kalau harga sewa sama dengan harga beli, pastinya orang akan memilih membeli ketimbang menyewa. Tetapi, kalau penyewanya mau, boleh-boleh saja.
Begitu juga dengan HGB, dengan NJOP SW Rp 20.7 juta per M2, apakah harga HGB SW juga Rp 20.7 juta per M2? Lazimnya, di bawah Rp 20.7 juta. Tapi, kalau Pemprov DKI mau membelinya seharga NJOP juga tidak masalah. Hanya saja patut dipertanyakan, kenapa Pemprov mau membelinya dengan harga NJOP?
Karena lazimnya HGB SW dijual sekian persen dari NJOP, maka seharusnya Pemprov DKI tidak perlu mengeluarkan koceknya sampai Rp 755 milyar. Lazimnya lebih rendah dari Rp 755 milyar. Dengan demikian kerugian negara pun seharusnya bukan Rp 191 milyar atau Rp 173 milyar. Karenanya, sekali lagi Ahok benar, Audit BPK ngaco.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI