Delapan belas tentara Filipina dikabarkan tewas saat menggelar operasi pembebasan sandera di lokasi kelompok Abu Sayyaf. Selain 18 orang yang tewas, 50 pasukan Filipina mengalami luka-luka dalam operasi yang dilancarkan pada Minggu 10 Aprl 2016 kemarin. Dari berbagai sumber disebutkan bahwa posisi pasukan Filipina yang menyerbu berada di bawah pasukan lawannya.
Orang awam saja tahu bagaimana sulitnya berperang menghadapi lawan yang posisinya berada lebih tinggi. Kita di bawah, sementara lawan berada di atas bukit atau gedung tinggi. Pertama karena faktor sudut pandang. Yang berada di atas memiliki sudut pandang lebih luas dari yang berada di bawah. Kedua, faktor halangan. Yang berada di atas lebih terlindungi dari yang berada di bawah.
Dalam operasi tersebut posisi tentara Filipina berada di bawah yang diserbunya. Posisi ini saja sudah menyulitkan. Ditambah lagi dengan adanya sandera di tangan Abu Sayaaf yang harus diselamatkan. Bukankah percuma saja melumpuhkan Abu Sayaaf kalau jumlah sandera yang menjadi korban pun banyak
Gagalnya penyerbuan tentara Filipina tersebut merupakan pelajaran bagi TNI. TNI bisa memperkirakan kekuatan tempur milisi Abu Sayyaf. Sekalipun medan tempurnya berupa hutan yang menjadi “makanan” TNI dalam hampir setiap latihannya, tetapi TNI tidak boleh meremehkannya. Apalagi, tentara yang dikalahkan oleh Abu Sayyaf kemarin adalah pasukan elit Filipina. Pasukan Filipina tersebut berpengalaman dalam operasi antigerilya melayan Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan Moro National Liberation Front (MNLF) serta operasi keamanan kelompok Abu Sayyaf, Jamaah Islamiyah, dan Al-qaeda di Mindanao.
Tetapi, ada beberpa hal yang tidak diulas oleh media. Pertama, penyanderaan yang dilakukan oleh Abu Sayyaf bisa jadi baru pertama kali dialami oleh ABK asal Indonesia (selanjutnya dialami oleh ABK asal Malaysia). Dari sini bisa disimpulkan jika kemampuan milisi Abu Sayyaf mengalami peningkatan. Bahkan, jika tidak terjadi penyerbuan pada hari Minggu kemarin, sulit dipercaya bila penyandera yang diawali dengan pembajakan tersebut dilakukan oleh milisi Abu Sayyaf. Karena sebelumnya Abu Sayyaf menculik sandera-sanderanya di daratan.
Kedua, kelompok Abu Sayyaf yang menghadang tetara elit Filipina mampu bertahan dalam pertempuran selama 10 jam. Artinya, persenjataan serta amunisi yang dimiliki oleh Abu Sayyaf tidak sedikit jumlahnya. Bukankah dalam posisinya, pasukan Abu Sayyaf bisa kapan saja meninggalkan medan pertempuran lalu menghilang di dalam hutan.
Ketiga, pertempuran yang terjadi Minggu kemarin adalah penghadangan kelompok Abu Sayyaf terhadap pasukan elit Pilipina. Artinya, Abus Sayyaf telah mencium adanya gerakan tentara Filipina lalu merencanakan operasi penghadangan. Hal ini membuktikan jika kemampuan intelijen kelompok Abu Sayyaf pun tidak bisa dianggap remeh-temeh.
Melihat sejumlah “keanehan” yang dimiliki oleh kelompok Abu Sayyaf tersebut, pastinya aparat intelijen Indonesia membuka mata dan memasang telinganya lebih lebar lagi sebelum menyerahkan laporannya kepada TNI. Selanjutnya, tinggal bagaimana TNI menjadikan informasi intelijen tersebut untuk mengatur strateginya.
Tetapi, apapun itu, jalur negosiasi tetap menjadi pilihan terbaik. Maka, segala pernyataan yang mengatakan “tidak ada negosiasi dengan teroris” seperti yang diucapkan oleh anggota DPR dari PKS Mahfudz Siddiq adalah salah besar dan tidak perlu didengar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H