Tadinya saya mau nulis surat terbuka. Siapa tahu saya jadi bahan pemberitaan seperti surat terbuka yang dikirim Anggun C Sasmi untuk Jokowi. Tapi saya sadar, saya ini bukan siapa-siapa. Toh, dengan memposting di Kompasiana, tulisan saya sudah terbuka dengan sendirinya #AkuMahApaAtuh
Sejak Jumat 1 Mei kemarin saya lihat Kabareskrim Komjen Budi Waseso sedang dibuli di media sosial. Ada yang mengutukinya. Ada yang mengiblisinya. Tidak sedikit yang meminta Buwas, panggilan Budi Waseso, untuk dipecat.
Apa sih salah Buwas sampai-sampai dikecam sedemikian rupa? Apa gara-gara menahan Novel Baswedan, Buwas dihujat sana sini. Kalau saya mah justru mendukung 1.000% tindakan Buwas ini. Saya mendukung Buwas dengan alasan yang logis yaitu penegakan hukum.
Saya sampai bertanya, “Kalau Novel bukan penyidik KPK, apakah mereka akan selebay itu membelanya?”
Coba cermati pernyataan Buwas seperti berikut ini berikut ini. "Tolonglah, kita saling menghormati proses penegakan hukum. Kita ini, kan, mengikuti aturan hukum. Jangan lebay-lah," ujar Buwas sewaktu menanggapi permintaan Presiden Jokowi, yang juga panglima tertinggi angkatan perang Indonesia sesuai UUD 1945. (Polri sudah masuk angkatan perang lagi ya?)
Tindakan Buwas ini benar yang sejatinya benar. Malah seharusnya kita semua mendukung tindakan Buwas ini. Coba bayangkan, kalau polisi yang diduga menganiaya tahanannya tidak diproses, pastinya nanti bakal semakin banyak polisi yang seenaknya main siksa tahanan.
Bukan “barang” yang aneh kalau untuk mendapat pengakuan tersangka oknum posisi sering kali menyiksa tahanannya. Ada yang cuma luka-luka ringan seperti lecet dan benjut. Ada yang sampai cacat seumur hidup. Bahkan tidak jarang ada tahanan yang disiksa polisi sampai meninggal dunia.
Masih ingatkan kasus salah tangkap yang dialami Hambali, Kemat, dan Davit di Jombang beberapa tahun lalu. Karena tidak tahan lagi dengan siksaan polisi, ketiganya terpaksa mengaku sebagai pembunuh Ansyori.
Nah, kalau tujuan Buwas ini baik, mari kita dukung. Kita dukung Polri untuk menindak anggotanya yang diduga menabrak lari putra Indra Azwan hingga tewas belasan tahun lalu. Kita dorong juga Polri untuk menegakkan hukum atas anggotanya yang asal main tembak atau main siksa.
Kalau Polri mau menegakkan hukum kepada anggotanya yang melanggar hukum. Kita pasti tidak bakal membuli Buwas. Malah jempol-jempol kita bakal diacungkan untuk Polri.
Cuma sayangnya, dalam kasus Novel ini tindakan Buwas kelewat centil. Lha, bagaimana tidak dibilang centil kalau ucapannya "jauh panggang dari api". Contohnya soal jumlah rumah yang dimiliki Novel. Buwas bilang Novel memiliki 4 rumah mewah. Padahal, menurut pengakuan Novel, rumah yang dimilikinya hanya 2 itu pun rumah-rumah yang sederhana.
Yang paling parah lagi barang bukti yang dibawa polisi dari rumah Novel. Barang-barang yang dijadikan bukti banyak yang tidak nyambung. Masa barang bukti untuk tindak penganiayaan yang dilakukan dit ahun 2004 itu berupa modem USB dan CD anti-virus. Lha, KPK yang menangkap basah Ustadz Ahmad Fahtanah yang sedang “basah-basahan” di hotel dengan Maharani Suciono saja tidak membawa serta kain sepray, bantal, guling, selimut dan lainnya. Padahal dalam proses hukumnya berkali-kali Maharani diperiksa oleh KPK.
Buwas memang benar kalau penolak penangkapan terhadap Novel itu lebay. Jadi, saya juga ingin bertanya, “Kalau Novel bukan penyidik KPK apakah, Buwas akan secentil itu menanganinya?”
#SayaMahGituOrangnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H