Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Ditangkapnya Anggoro, Bisakah Susno Lepas dari "Buaya"?

1 Februari 2014   13:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:15 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada dua kasus besar yang melibatkan mantan Kabareskrim Irjen Pol (Purn) Susno Duadji. Pertama kasus bailout bank Century. Kedua kasus cicak-buaya. Uniknya posisi Susna dalam kedua kasus tersebut bertolak belakang. Dalam kasus Century, Susno diposisikan sebagai tokoh protagonis, sedang dalam kasus cicak-buaya, Susno diposisikan sebagai tokoh antagonis.

Dalam kasus Century, posisi Susno sebelas-dua belas dengan mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Sebelum pemilu 2009 Antasari ditangkap sebagai pembunuh Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Setelah lewat beberapa kali proses hukum, publik mulai berpendapat bila Antasari telah menjadi korban kriminalisasi.

Dalam kasus cicak-buaya publik melihat komisionaris KPK Bibit Samat dan Chandra Hamzah sebagai korban kriminalisasi. Dan secara kolektif saat itu jari telunjuk publik mengarah pada Susno sebagai otak pelaku kriminalisasi. Ditangkapnya Anggoro Widjojo harus menjadi pintu masuk untuk membongkar siapa otak kriminalisasi yang sebenarnya.

Kejanggalan pertama yang mencolok adalah tidak adanya suara Susno dalam rekaman percakapan telepon yang diperdengarkan di Gedung Mahkamah Konstitusi pada 3 November 2009. Hal ini berbeda dengan rekaman-rekaman sadapan telepon KPK lainnya yang sudah dipublikasi. Misalnya, dalam kasus suap kuota impor daging sapi, suara milik dua pelakunya, Luthfi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fathanah terdengar jelas.

Nomor telepon yang disadap KPK dan diperdengarkan adalah milik Anggodo Widjojo. Dan dari rekaman yang diperdengarkan jelas tidak sekalipun Anggodo menghubungi atau dihubungi oleh Susno. Bahkan nama Susno pun tidak disebutkan dalam beberapa percakapan. Nama Susno terseret dalam kasus ini karena beberapa kali disebut Truno 3. Truno 3 ini diterjemahkan sebagai Jalan Trunojoyo No. 3 di mana Mabes Polri beralamat. Memang dalam rekaman tersebut Anggodo berbicara dengan anggota Polri. Tapi, bukan dengan Susno. Namun Truno 3 diopinikan sebagai jabatan nomor tiga paling berpengaruh di Polri setelah Kapolri dan Wakapolri. Dan jabatan tersebut saat itu disandang oleh Susno.

Kemudian ada isu penyadapan nomor ponsel Susno yang isinya tentang permintaan uang Rp 10 Mliyar oleh Susno. Menariknya rekaman penyadapan ini belum pernah dipublikasikan. Padahal bila benar isi dari rekaman sadapan telepon itu tentang permintaan Susno maka rekaman itu jauh lebih penting ketimbang rekaman pembicaraan Anggodo yang diputar di MK. Untuk memberikan klarifikasi hal ini Susno dua kali datang ke KPK, namun Pimpinan KPK tidak bisa melakukan karena tidak cukup bukti untuk disidik.

Saat itu posisi Susno dan Polri begitu terpojok oleh opini yang dibangun sedemikian rupa oleh para tokoh, aktivis anti-korupsi, dan media, hingga apapun pembelaan yang dilakukan selalu dinilai salah. Bahkan stempel cicak untuk KPK dan buaya bagi Polri sampe sekarang masih melekat.

Uniknya sikap para tokoh dan aktivis anti-korupsi itu tergambar dengan jelas ketika mantan Bendahara Partai Demokrat mengungkapkan pertemuan-pertemuannya dengan Komisionaris KPK Chandra Hamzah sebanyak 5 kali. Para aktivis membela Chandra dan balik menuding pernyataan Nazar sebagai gerakan koruptor fight back. Chandra sendiri saat itu belum mau berkomentar.

Dikatakan sebagai “koruptor fight back” Nazar pun membela diri dengan mengatakan ia memiliki bukti rekaman CCTV-nya. Kemudian, para aktivis anti-korupsi mendesak Nazar menunjukkan bukti rekaman CCTV-nya. Berbeda dengan sikap para aktivis anti-korupsi, Chandra justru mengakui adanya pertemuan antara dirinya dengan Nazaruddin. Memang bukan 5 seperti yang dikatakan Nazar, tapi 4 kali pertemuan, artinya 80% pernyataan Nazar dibenarkan oleh Chandra.

Lucunya, dalam berbagai dialog di televisi, sekalipun Chandra sudah mengaku, para aktivis masih mendesak Nazar menunjukkan bukti. Hebatnya lagi, para aktivis membentengi Chandra dengan mengatakan, “Mana yang lebih dipercaya, Chandra atau Nazar?” Jadi, kepada siapa pembelaan para aktivis itu diberikan, kepada KPK sebagai institusi atau kepada oknum KPK.

Kasus cicak-buaya sebenarnya mendorong rakyat untuk memercayai KPK yang sesungguhnya sudah dilemahkan oleh kekuatan tertentu. Pertanyaannya, setelah penangkapan Anggoro, mampukah bangsa ini mengungkap “udang-udang” yang selama ini bersembunyi di balik kasus cicak-buaya? Dan bagi Polri seharusnya momen ini dimanfaatkan untuk melepaskan diri dari “belitan” buaya.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun