Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

K-er Hebat Hengkang, "Sampah" yang Disalahkan

16 Maret 2015   14:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:34 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saya baru tahu kalau di Kompasiana ini ada kasta-kastaan. Kalau disebut Kompasianer lama dan baru sih tidak masalah. Tapi, kalau dikastakan jadi senior-yunior, ini maksudnya apa? Ada lagi sebutan peulis top, penulis hebat. Kenapa tidak sekalian saja ada K-er bangsawan, K-er ningrat, K-er ustad yang suci dan menyucikan, K-er eselon I eselon II dan K-er honorer.

Katanya juga gegara K-er-K-er yang “nyampah” seperti ngegosip, curhat, dan ini-itu, Kompasiana jadi sepi pembaca. Belum cukup sampai disitu, datangnya K-er baru dengan tulisannya yang disebut sampah juga dituding sebagai penyebab hengkangnya para K-er ningrat.

Entah siapa saja yang dimaksud K-er senior yang juga penulis hebat ini. Terus, apa benar para K-er berkasta tinggi itu hengkang gara-gara banyaknya K-er yang nyampah?

Kalau sepinya pembaca jelas ini gara-gara tidak terdatanya peng-klik lewat HP. Kalau tulisan kita terdata diklik oleh 100 pembaca, bisa jadi jumlah pembaca sebenarnya tembus 1 juta. Jadi jangan berkecil hati, lalu ngiprit pergi dari Kompasiana hanya gara-gara pembaca tulisan kita hanya terdata 100 pengakses.

Pertanyaannya lainnya, benarkah gara-gara banyaknya tulisan yang disebut sampah, banyak kaum ningrat Kompasiana hengkang? Banyak teman K-er yang biasanya vote dan komen ditulisan saya sekarang sudah tidak atau jarang muncul lagi. Seperti Dewa Gilang, Olas Novel a.k.a Black Horse, Sutomo Paguci, Jack Soetopo, Galaxy, dan masih banyak lagi. Tapi, saya tidak pernah mendengar kalau mereka hengkang atau malas nulis gara-gara banyaknya tulisan sampah. Atau bisa jadi teman-teman yang biasa komen dan vote di tulisan saya itu bukan termasuk kaum ningrat, jadi tulisan mereka pun dianggap sampah juga.

Buat saya sendiri Kompasiana tambah asyik. Sekarang ada penulis nyablak gaya emak-emak sewot seperti Ifani dan Mike. Ada Nararya yang tulisannya njelimet memusingkan. Ada Pakde Kartono dengan tulisan yang ringan dan lucunya. Ada Jati yang gemar menayangkan humor habulnya. Ada ini dan ada itu dengan anunya. Setahu saya biarpun tulisan mereka banyak dibaca dan di-vote, Mbak-mbak dan Mas-mas itu tidak pernah mengganggap diri mereka K-er penulis hebat.

Karena saya juga merasa bukan K-er hebat, bukan K-er bangsawan, bukan ningrat, bukan K-er ustad yang suci dan menyucikan, bukan K-er eselon I, Tapi, saya tidak mau ambil pusing. Saya tetap menulis. Soal sampah atau emas tulisan yang saya tayangkan biar teman-teman yang menilai.

Bisa jadi tulisan yang kita tayangankan itu awalnya dikatai sampah, hoax, atau lainnya. “Rumah Kaca Abraham Samad”, misalnya, sebelumnya banyak yang menuding-nuding sebagai tulisan hoax, termasuk saya sendiri. Tapi, belakangan tulisan itu diakui kebenarannya. Malah bisa jadi tulisan itu jadi yang terkenal sepanjang tahun ini.

Soal sampah atau tidaknya tulisan kita, biarlah admin yang menentukan. Kalau tulisan kita dianggap baik, pastinya akan dipajang di HLt, HL, atau TA. Kalau pun tulisan kita melanggar ToC, pasti admin akan menghapusnya. Tujuh tulisan saya dihapus admin. 6 diantaranya tulisan humor. Toh, saya tetap menulis humor.

Soal ribut-ribut di Kompasiana, ya wajar. Kompasiana kan komunitas juga. Dalam satu komunitas pastilah ada gesekan antar sesama anggotanya. Jadi jangan khawatir kalau karena tulisan, kita jadi ribut dengan K-er lainnya.

Ribut-ribut itu soal biasa, dulu kedatangan Anin dengan sejuta pesonanya juga membawa keributan. Berhari-hari teman-teman ribut, hanya gara-gara ada yang menuduh tulisan Anin bukan asli buatan sendiri. Kemudian,

Pakde Kartono sempat juga mau dipolisikan katanya melanggar UU ITE. Padahal kalau ditelusuri yang terjadi hanya perbedaan pandang. Pakde Kartono menulis Sitok dan RW melakukan hubungan badan atas dasar suka sama suka . Sedang K-er lainnya memandang Sitok memerkosa RW. Padahal jelas RW melaporkan Sitok atas kasus perbuatan tidak menyenangkan. Tapi, Pakde yang waktu itu masihjadi K-er baru masih terus menulis sampai sekarang. Tulisannya masih banyak dibaca dan di-vote.

Lantas Nararya juga pernah dipermasalahkan gegara tulisannya disebut memusingkan. Terjadilah debat panjang antara Nararya yang waktu itu masih K-er baru dengan beberapa teman. Toh, sampai sekarang Nararya tetap setia dengan gaya penulisannya. Pembacanya pun tetap saja bejubel,

Buat saya K-er hebat itu, K-er yang pernah ribut dan masih tetap ngompasiana. K-er hebat tidak pernah bergunjing. Kalau meyerang yang langsung tunjuk hidung. Bukannya yang menunjukkan kealimannya, lantas begitu kelakuannya kebongkar, lari kebirit-birit menghapus statusnya.

Lucunya lagi, gara-gara yang nongol di TA itu K-er yang itu-itu saja lantas ditudinglah kalau K-er yang sering TA sebagai anak emas admin. Saya bingung, apa salah K-er yang tulisannya sering TA. Saya juga bingung, kenapa admin yang sering men-TA-kan tulisan mereka dipojokkan.

Sebelum ramau HL-TA dimasalhkan banyak yang inbox yang isinya belum berani nulis di Kompasiana. Alasan mereka takut tulisannya dibilang jelek, ini dan itu. Setelah HL-TA dimasalahkan muncul anggapan kalau HL_TA cuma milik segelintir K-er. Akibatnya, mereka makin enggan menulis. Lha, sekarang muncul lagi sampahisasi tulisan. Makin ciut deh mereka. Iue teh aya naon? Wot hapen?

Bukan hanya itu, banyak juga K-er yang masih takut-takut beropini beda. Alasannya takut dibuli. Saya juga pernah dikirimi inbox, “Kok berani ngritik KPK. Ga takut dibuly?” Saya jawab saja, bukan cuma KPK yang saya sentil, Polri dan Istana juga saya tendang. Tapi, karena nyerang KPK yang beda dengan banyak orang, tendangan ke Istana dan Polri jadi tidak dilihat. Lagian, dari sekian banyak K-er, masa tidak ada yang sependapat dengan saya.

Jadi, kalau mau nulis, nulis saja. Selera orang beda-beda, Latar belakang orang beda-beda. Aturan di Kompasiana pun sudah ada. Kalau ada yang reseh ngomel ini itu, tingal panggil Bang Gasa “Si Gobang Karat”. Nanti biar Abang sama Bang Elde “Dengkul” yang laporin ke Haji Lulung.

Salam PKS (Penulis Kelas Sampah)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun