Atas kesalahan mengelola komunikasi ini, pasca kasus Wisma Atlet dan Hambalang inilah elektabilitas Demokrat terus kedodoran. Berbeda dengan 2008, kini stempel sebagai partai terkorup justru melekat pada Demokrat. Dan nampaknya sulit bagi Demokrat untuk kembali bangkit. Bahkan setelah pidato SBY dari Jeddah yang isisnya tidak jauh beda dari pidatonya saat kasus Aulia pun elektabilitas Demokrat masih jeblok.
"Timbul semacam kegusaran di kalangan Partai Demokrat karena sejumlah kasus kader Partai Demokrat terkesan sengaja dibiarkan berlarut-larut. Sudah hampir dua tahun dibiarkan tak menentu," kata SBY. "Saya sendiri, dari tanah ini, dari Jeddah ini, mengharapkan KPK menjalankan tugas sebaik-baiknya dengan tanggung jawab. KPK tidak boleh tebang pilih. Itu posisi saya." (Sumber: Kompas.com). Inilah pidato SBY di Jeddah pada 4 Februari 2013 yang mirip dengan pidatonya pada 29 Oktober 2008.
Jika saja Demokrat melihat kembali catatan hariannya pada 2008 lalu mungkin elektabilitasnya tidak sejeblok sekarang. Demokrat semestinya menata kembali pengelolaan komunikasinya. Terkait soal desakan KPK agar Ibas segera diperiksa. Sebaiknya Demokrat membiarkannya saja, tanpa mensomasi mereka. Bahkan seharusnya Demokrat menantang KPK untuk segera memanggil Ibas. Toh, panggilan terhadap saksi belum tentu mengubah status hukumnya.
Bukankah dengan mendorong pemeriksaan Ibas sama saja dengan mengatakan, "Lihat saja, anak Pak SBY sendiri, suami dari menantu Pak SBY sendiri, menantu dari besan Pak SBY sendiri, bapak dari cucu Pak SBY sendiri, adik dari anak Pak SBY sendiri. Dan, Pak SBY tidak mengintervensi kasus hukumnya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H