Kemarin saya didatangi tamu. Wajahnya murung. Matanya seperti kurang tidur.
“Maaf Mbah Gasa, saya mengganggu,” kata tamu yang mengenalkan dirinya sebagai Kartono. “Saya datang ke sini mau minta masukan. Saya sekarang jadi saksi polisi. Kasusnya pemerkosaan,” jelas Danny.
“Oh baru saksi.”
“Iya, baru saksi. Tapi bisa jadi nanti ditetapkan sebagai tersangka,” kata Danny. “Saya memang ikut memperkosa juga.”
“Kalau begitu, cari pengacara saja,” jawabku jual malah. “Saya paling benci pemerkosa.”
“Saya dulu juga begitu. Saya malah bikin LSM PUKKAP Pusat Kajian Kasus Perkosaan. Tapi, ternyata saya khilaf. Saya memperkosa mahasiswi saya yang kinyis-kinyis.”
“Oh,” sahutku pendek..
“Iya.. itu saya. Saya juga sering nulis di koran-koran, sering jadi masuk TV jadi pembicara. Sering ikut-ikutan demo.”
“Cari pengacara hebat saja kalau gitu,” ulang saya pura-pura kesal.
“Saya sudah punya pengacara. Tapi, mereka bilang kalau saya sulit melepaskan diri dari kasus ini.”
“Oh begitu. Tapi, kenapa Bapak menemui saya?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Mbah kan dukun. Pastinya Mbah bisa membebaskan saya.” Kartono menatap saya penuh harap.”Tolonglah saya, Mbah.”
“Sekarang ini, asal Bapak tahu, jangankan dukun, sekarang ini mafia hukum saja kalah sama LSM. Semafia-mafianya mafia hukum dan sesakti-sakti mandragunanya dukun masih kalah lincah dengan LSM.” Saya menyruput kopi pahit. “Coba sekarang Bapak datang saja ke LSM terus ajak LSM itu datang ke KPK dengan ikat kepala “Save KPK” sambil membentangkan spanduk “KPK, We Care”. Nah, nanti kalau polisi manggil Bapak, bilang saja kalau panggilan itu bukan urusan pribadi tapi kriminalisasi terhadap pendukung KPK.”
“Cuma itu syaratnya?”
“Kalau bisa cari LSM yang dapat gelontoran dana dari KPK.”
“Ada lagi syaratnya?”
“Ada, tanyakan saja langsung ke Denny Indrayana.”
Setelah Kartono pulang, datang pasien lainnya.
“Mbah, nama saya Elde. Saya sedang ada masalah. Saya dituduh membunuh,” terang Elde.
“Terus?”
“Saya tidak membunuh. Saya hanya dikait-kaitkan. Saya disangkut-pautkan.”
“Bagaimana ceritanya?’
“Saya ini supir bus antar kota. Waktu itu saya numpang bus, pulang ke Purworejo. Supirnya teman saya. Eh tidak tahunya ada penumpang yang meninggal. Kata polisi matinya kena bius.”
“Siapa penumpang yang meninggal itu?”
“Orang LSM HAM.”
“Waduh... LSM.. Kalau sama LSM, Mbah nyerah saja. LSM itu lebih hebat dari mafia hukum, lebih sakti dari dukun, malah lebih kuat dari tuhan.”
“Kok, bisa Mbah?”
“Lha iya, kalau tuhan sudah jelas kapan siang, kapan malam. Tapi, LSM sekalipun matahari terbit, kalau LSM bilang malam, ya harus malam. Kemarin-kemarin bilang equal before the law, lha pas teman yang jadi tersangka, LSM minta hak kekebalan. Kemarin-kemarin bilang azas praduga tidak bersalah, eh pas Muchdi PR datang ke pengadilan sebagai saksi diteriaki “Pembunuh”. Sebelumnya berjuang demi kebebasan berpendapat, eh kalau ada orang yang berpendapat beda soal pembunuhan munir, mereka kata-katai “pendongeng hitam”.
“Jadi, nasib saya bagaimana, Mbah?”
“Paling nasibmu sama dengan Polycarpus. Tidak jelas bagaimana, kapan, dan di mana Polycarpus membunuh, tapi tetap harus divonis bersalah.”
“Jadi...?”
“Ya sudah, terima nasib saja.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H