[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="-Ilustrasi, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva (tengah) didampingi sejumlah Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman, Arief Hidayat, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, Harjono (kiri ke kanan) dan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M Gaffar (kanan). (KOMPAS.com/Roderick Adrian Mozes)"][/caption]
Kamis 27 Maret 2014 kemarin Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) mengajukan peninjauan kembali UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD ke Mahkamah Konstitusi (MK). Materi yang diajukan adalah Pasal 247 ayat 2, 5 dan 6 serta Pasal 291, dan Pasal 317 ayat 1 dan ayat 2 UU Pemilu yang mengatur tentang pengumuman hasil survei maupun penghitungan cepat (quick count). Dalam aturannyahasil quick count pemilu dilakukan paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian Barat.
Quick count (QC)adalah hasil hitung cepat pemilu yang diperoleh dari rekapitulasi perhitungan suara dari TPS sample (biasanya ada lima ratusan TPS). QC berbeda dengan exit poll. Exit poll dilakukan dengan cara menanyai langsung pemilih yang baru keluar dari TPS dengan interval tertentu.
Sebelum ketok palu keputusan sebaiknya MK berkaca pada QC yang ditayangkan beberapa stasiun TV saat pemilu 2009, baik pileg maupun pilpres. Pada waktu pileg (sepengetahuan saya) TV One sudah menayangkan hasil QC sementara pada pukul 13.30 WIB atau 15.30 WIT. Pertanyaannya, di TPS mana di Indonesia Bagian Timur yang pada pukul 15.30 WIT sudah menyelesaikan proses rekapitulasi perhitungan suaranya.
Pada pileg 2009, jangankan selesai merekapitulasi suara, pada pukul 15.00 banyak TPS yang masih melakukan proses pencontrengan. Kalaupun memang di Indonesia Bagian Timur sudah ada TPS yang selesai dengan proses rekapitulasi penghitungan suaranya, pertanyaannya, bagaimana bisa lembaga survei dengan tepat “mendapatkan” sample TPS yang sudah menyelesaikan seluruh proses pemilu pada pukul 15.30 WIT.
Sementara pada waktu pilpres TV One sudah menayangkan hasil QC sementara pada pukul 10.45 WIB atau 12.45 WIT. Pertanyaannya, di TPS mana di Indonesia Bagian Timur yang pada pukul 12.45 WIT sudah menyelesaikan proses rekapitulasi perhitungan suaranya. Bukankah TPS baru ditutup pada pukul 12.00 waktu setempat, Apalagi pada saat pileg 2009 atas keputusan MK, pendaftaran pencoblosan diperpanjang setelah pukul 13.00 untuk mengakomodasi pemilih yang menggunakan haknya dengan menunjukkan KTP atau identitas lainnya. Maka, kalau ada TPS yang menutup proses pencontrengan sebelum pukul 13.00 sama halnya dengan melanggar aturan.
Dengan demikian, bagamana bisa lembaga survei bisa “menemukan” TPS di Indonesia Bagian Timur yang sudah menyelesaikan proses rekapitulasi penghitungan suara pada pukul 12.45. hebatnya lembaga survei tersebut begitu tepat menentukan TPS yang melanggar ketentuan jadwal “tutup” TPS.
Apapun yang terjadi, pada saat QC ditayangkan sejumlah stasiun TV, masih banyak pemilih di Indonesia bagian Barat yang belum menggunakan hak pilihnya. Dan, tentu saja hasil QC berpotensi memengaruhi keputusan pemilih. Pada pemilu 2009 yang diuntungkan adalah Demokrat dan SBY yang diberitakan memenangi pemilu versi QC.
Sebenarnya tidak masalah bila QC yang ditayangkan adalah hasil real, dan bukan hasil manipulasi. Masalahnya QC yang ditayangkan bisa saja merupakan hasil manipulasi dengan tujuan memengaruhi pemilih.
Pertanyaannya bagaimana propaganda lewat QC bisa dilancarkan, bukankah hasil akhir QC 11-12 dengan rekapitulasi akhir KPU?
Caranya mudah!
Hasil sementara QC yang ditayangkan adalah angka2 manipulatif yang dipatok dengan angka tertentu guna memrovokasi pemilih untuk menjatuhkan pilihan suaranya. Angka manipulatif tersebut kemudian sedikit demi sedikit dikoreksi sampai sama dengan hasil real QC.
Misalkan, pada pukul 10.45 WIB ditayangakan hasil sementara QC dengan kandidat A 25 %, kandidat B 60 %, dan kandidat C 15 %. Perolehan suara ini adalah angka manipulatif yang menguntungkan kandidat B. Sebagaimana perolehan QC sementara angka-angka yang ditayangkan berfluktuasi. Angka-angka QC manipulatif tersebut kemudian dikoreksi sampai sama dengan hasil QC real. Akibatnya publik tidak menyadari bila hasil QC yang pertama ditayangkan tersebut merupakan angka-angka manipulatif.
Dengan adanya potensi kecurangan lewat QC tersebut, apakah MK akan mengabulkan permohonan Persepsi. Jikapun mengabulkan, kemudian pada saat penayangan QC ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dan kemudian mengganggu keamanan nasional, siapakah yang bertanggung jawab? Pertanyaan terpenting, manakah yang lebih diprioritaskan, kebebasan mendapat informasi atau keamanan nasional?
Dan yang hasru dipertimbangkan MK adalah jam tayang QC 2 jam setelah penutupan TPS di wilayah Indonesia Barat sudah cukup moderat. Bukankah 2 jam tersebut untuk mengantisipasi bila terjadi pengunduran atau lamanya proses pemilihan di sejumlah TPS. Pileg 2009 bisa menjadi contoh di mana proses pencotrengan bisa selesai setelah beberapa jam pasca waktu resmi yang sudah ditentukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H