"Calon independen masih diakomodasi, baik pilkada langsung maupun melalui DPRD. Ini yurisprudensi dari MK," kata Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) Abdul Hakam Naja di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (9/9/2014) (Sumber: Â Kompas.com)
Ditambahkannya, tata cara pengusungan calon independen dalam Pilkada juga tak akan berubah. Mereka menggalang dukungan dari partai politik, atau menggalang dukungan dari masyarakat melalui pengumpulan kartu tanda penduduk (KTP).
"Yang penting calon independen jangan ditutup, lewat pintu mana saja harus dibuka. Kalau pilkada melalui DPRD yang beda hanya pemilihnya saja," tegasnya.
Logika sederhana pilkada langsung adalah rakyat sebagai subyek dan calon kepala daerah sebagai obyeknya. Sedang, logika sederhana pilkada tidak langsung adalah anggota DPRD sebagai subyek dan calon kepala daerah sebagai obyeknya.
Calon independen adalah calon kepala daerah yang keikutsertaannya dalam pilkada tanpa melalui jalur partai politik dan  salah satu persyaratannya adalah mendapat dukungan rakyat yang dibuktikan dengan fotocopy KTP calon pemilih yang jumlahnya disesuaikan dengan populasi setiap daerah. Singkatnya calon independen itu tanpa dukungan parpol, tetapi didukung oleh masyarakat dengan bukti fotocopy KTP.
Kalau calon independen harus menggalang dukungan dari parpol seperti yang dijelaskan oleh Hakam, di mana independensinya? Dan, kalau calon independen harus mengumpulkan fotocopy KTP sebagai bukti dukungan masyarakat, di mana relevansinya mengingat pemilihnya adalah anggota DPRD bukan lagi rakyat?
Dari logika yang sangat sederhana saja sudah terlihat bahwa calon independen tidak lagi diakomodasi dalam pilkada tidak langsung. Jadi, pilkada tidak langsung tidak saja memberangsus hak rakyat untuk memilih, tetapi juga hak untuk dipilih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H