Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Yang Dikritik Cuma Jumlah Menteri dan Jatah Parpol. Tidak Ada yang Lainnya?

17 September 2014   18:17 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:26 1489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selepas Jokowi mengumumkan postur kabinetnya, hujan kritik pun berjatuhan. Tapi, kalau diperhatikan tidak ada satu pun kritik yang bisa dinilai cantik. Para pengritik hanya menyoal jumlah kabinet dan jatah parpol yang nantinya dipimpin Jokowi-JK.

Soal jumlah kabinet, para pengritik mengaitkannya dengan janji Jokowi saat kampanye yang akan merampingkan kabinetnya. Kalau dikaitkan dengan janji kampanye memang seharusnya kabinet yang dipimpin Jokowi berjumlah kurang dari jumlah kabinet yang dipimpin SBY. Kalau kabinet yang dipimpin SBY berjumlah 34, maka seharusnya jumlah kabinet yang dipimpin Jokowi maksimal berjumlah 33. Tapi, ternyata Jokowi “memanfaatkan” jatah maksimal yang diperbolehkan UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara yaitu 34 kabinet. Jadi jelas, jumlah kabinet yang dipimpin Jokowi tidak melanggar konstitusi.

Dengan membandingkan  24 kementerian di Malaysia yang berpenduduk 24 juta, Jokowi berseloroh bila 34 menteri yang dipimpinnya terlalu sedikit bila dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang berjumlah 240 juta. Lucunya, guyonan Jokowi ini ditanggapi secara serius. Kata para pengritik, Jokowi seharusnya membandingkan jumlah menterinya dengan Amerika yang hanya memiliki 15 menteri atau China dengan 25 jumlah kementerian.

Sekalipun sekedar guyonan, tapi guyonan Jokowi yang mengaitkan jumlah kementerian dengan jumlah penduduk sangat tidak tepat. Jumlah kementerian bukanlah jumlah polisi atau jumlah dokter yang mempunyai standar rasio dengan jumah penduduk. Jumlah kementerian lebih mengacu pada efektifitas kerja pemerintahan. Jumlah kementerian pun tidak bisa dibanding-bandingkan dengan negara lainnya karena situasi dan kondisi setiap negara berbeda-beda. Negara yang tidak memiliki laut, misalnya, tidak perlu membentuk kementerian maritim. Demikian pula dengan negara-negara maju yang pastinya tidak membutuhkan kementerian yang mengurusi desa tertinggal.

Kemudian soal parpol yang dijatah 16 menteri, ini pun tidak perlu dipersoalkan. Bagaimana pun parpol dibentuk untuk meraih kekuasaan. Kalau militer yang berkuasa pastilah ia akan menempatkan militer di sejumlah kementeriannya. Di Indonesia, sipillah yang memegang pemerintahan lewat parpol. Dan saat pilpres Jokowi-JK didukung oleh 4 parpol. Jadi sangat wajar bila Jokowi-Jk mengakomodasi keempat parpol tersebut dalam kabinetnya. Bahkan, bila melihat situasi politik saat ini, Jokowi-JK seharusnya juga membuka pintu kepada parpol lainnya.

Lalu, apakah kabinet Jokowi “copas” dari kabinet SBY seperti yang dikatakan banyak pengamat? Kalau hanya dari sisi jumlah kabinet, kabinet Jokowi sama saja dengan kabinet SBY. Tapi, dalam beberapa hak keduanya berbeda. Pembagian jatah menteri untuk parpol, SBY sudah membagi-bagikannya sebelum pilpres berlangsung. Dengan PKS, misalnya, SBY memberi jatah 4 kursi menteri dari 8 menteri yang diminta PKS sebelum pilpres. Sedang, sebagaimana yang diberitakan, Jokowi baru menegosiasikan jatah menterinya pasca pilpres.

Kalau para pengritik mau bermain lebih cantik seharusnya mereka menyoroti hal-hal yang lebih subtansial seperti pemisahan kementerian, atau pembentukan kementerian baru. Perdebatan yang lebih subtansial pastinya akan lebih memberikan warna dalam demokrasi Indonesia dibandingkan dengan menyoroti soal jumlah menteri dan jatah parpol. Apalagi mengritik penolakan Jokowi pada “pemberian” mobil baru bagi kabinetnya.

Coba yang dikritik itu wakil menteri yang tinggal menyisakan wakil menteri untuk Kementerian Luar Negeri, atau pembentukan Kementerian Agraria, atau industri kreatif yang diurus oleh kementerian tersendiri yang dipisahkan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Lalu, kenapa pula tidak dikomentari Kementerian ESDM dan Kementerian Pertanian yang tidak lagi dijatah untuk parpol, tetapi diberikan pada profesional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun