Sudut-sudut bibir saya mengembang begitu membaca berita Pidato Berbahasa Inggris, Jokowi Bisa Langgar Sumpah yang dipublikasi Tempo.co Senin, 10 November 2014. Wajar saja saya tersenyum, sebab saya sudah menayangkan Berbahasa Inggris di Istana, Jokowi Melanggar Sumpah di hari pertama Jokowi dilantik 20 Oktober 2014 pukul 22.06.
“Malam hari setelah dilantik Jokowi bertemu Perdana Menteri Australia Tony Abbott. Keduanya duduk berdampingan di Istana Merdeka. Lewat pesawat televisi terdengar Jokowi mengucapkan kata-kata dalam Bahasa Inggris. Apakah Jokowi belum mengetahui UU 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan,” tulis saya dalam artikel yang saya tayangkan tersebut.
Sebelas-dua belas dengan yang saya tuliskan, ahli hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana pun mengatakan Jokowi sudah melanggar sumpahnya sebagai Presiden Republik Indonesia jika berpidato menggunakan bahasa Inggris di salah satu sesi Konferensi Tingkat Tinggi Asia Pacific Economic Cooperation di Beijing hari ini.
Bedanya Hikmahanto mengacu pada Pasal 28 UU No.24/2009 yang berbunyi Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.
Yang pada penjelasan pasal ini, UU itu menyatakan: Yang dimaksud dengan “pidato resmi” adalah pidato yang disampaikan dalam forum resmi oleh pejabat negara atau pemerintahan, kecuali forum resmi internasional di luar negeri yang menetapkan penggunaan bahasa tertentu.
Sedang saya mengacu pada ayat 1 Pasal 32 UU 24/2009 yang menyebutkan, “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia.” Dan Ayat 1 Pasal 33 ditegaskan “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta.”
Menariknya, menurut Hikmahanto, presiden tidak perlu mematuhi undang-undang itu karena tidak ada sanksinya. Hal ini mengacu pada saat lambang negara dipakai secara serampangan pada kaus timnas sepak bola Indonesia.
Menurut saya, Hikmahanto salah besar. Bagaimana pun pelanggaran tetaplah pelanggaran. Masalahnya undang-undang tersebut terlalu kaku. Presiden SBY yang menandatanganinya saja acap kali melanggar undang-undang tersebut. Dan, presiden-presiden yang akan datang beserta pejabat-pejabatnya juga berpotensi melanggarnya.
Selain akan sering terjadi pelanggaran, undang-undang ini pun akan mengundang kelucuan. Bayangkan jika suatu saat Jokowi bertemu denga pejabat negara dari Suriname yang fasih berbahasa Jawa. Apakah hanya karena tidak ingin melanggar sumbah, Jokowi tetap menggunakan Bahasa Indonesia, sedang pejabat dari Suriname berbicara dengan menggunakan Bahasa Jawa.
Sebelum undang-undang ini ditetapkan, pada 28 Oktober 1995 Presiden Soeharto mengunjungi Paramaribo, Suriname dan berpidato dalam Bahasa Jawa. Soeharto memilih Bahasa Jawa, karena menilai dengan menggunakan Bahasa Jawa, komunikasinya dengan warga Suriname keturunan Indonesia akan lebih lebih komunikastif dan luwes.
[caption id="attachment_353770" align="aligncenter" width="338" caption="Naskah pidato Presiden Soeharto dalam Bahasa Jawa saat mengunjungi Suriname 28/10/95 http://soeharto.co/1995-10-28-sambutan-presiden-soeharto-pada-pertemuan-dengan-masyarakat-suriname-keturunan-indonesia"][/caption]
Karena kakunya itu, seperti dalam tulisan saya tersebut, ada baiknya bila UU 24 Tahun 2009 ini diamandeman. Jika tidak UU ini kan menjadi jebakan batman bagi siapapun pejabat di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H