Dari YouTube terekam adanya rencana ISIS yang akan masuk ke Indonesia. Rencananya mereka akan datang dan menghabisi satu persatu anggota TNI. Polri, dan Banser NU. Serangkaian aksi teroris yang menyerang anggota TNI dan Polri menjadi bukti bila ancaman ISIS tersebut bukan omong kosong belaka.
Tujuan ISIS yaitu mendirikan kekhalifahan Islam di dunia. Tujuan ini sejalan dengan berbagai organisasi Islam di Indonesia. Sedangkan organisasi Islam tersebut telah mengembangkan akar-akarnya ke seluruh pelosok negeri. Berbagai kalangan pun telah bergabung ke dalam organisasi-organisasi tersebut. Dengan demikian kondisi Indonesia “welcome” bagi ISIS. Dari organisasi-organisasi itu ISIS akan mudah memperoleh dukungan berupa personel, logistik, intelijen, propaganda, dan lainnya. Dan tidak hanya itu, Kondisi sosial masyarakat saat ini pun sangat mendukung keberadaan ISIS.
Sejak 2012, tepatnya Pilkada DKI, terjadi penguatan dalam pengkondisian umat Islam Indonesia sebagai kolompok dalam posisi terancam. Ancaman itu digambarkan datang dari kekuatan asing (Barat), Aseng dan Asong (China), Zionisme termasuk organisasi rahasianya seperti Illuinati dan Freeason, dan tentu saja kelompok-kelompok dari dalam negeri yang dituding sebagai anti-Islam seperti JIL. Pengkondisian ini semakin menguat pasca Pilpres 2014 yang dimenangkan oleh Jokowi. Jokowi dan pemerintahannya dipersepsikan sebagai anti-Islam.
Selama dua bulan pemerintahan Jokowi tercatat ada tiga isu yang dihembuskan untuk menguatkan propaganda adanya ancaman terhadap Islam. Pertama adalah isu penghapusan kolom agama dalam KTP, kedua revisi aturan doa di sekolah, dan ketiga pelarangan berjilbab syar’i dalam rekruitmen pegawai BUMN. Adanya ketiga isu tersebut bukan saja menimbulkan kebencian terhadap pemerintah, tetapi juga kebencian terhadap anak bangsa lainnya. Dalam isu larangan jilbab, misalnya, warga negara minoritas menjadi sasaran luapan kebencian dah kecurigaan.
Menariknya, pemerintah hampir tidak menunjukan respon serius dalam menghadapi ketiga isu tersebut. Bahkan dalam isu larangan jilbab, pemerintah tidak melakukan tindakan yang berarti. Lewat Wapres Jusuf Kalla dan pejabat di kementerian BUMN, pemerintah hanya menjawab isu ini selintas lalu. Padahal pada kenyataannya, isu ini masih terus digoreng sedemikian rupa di media sosial dan menjadi perbincangan di masyarakat.
Respon pemerintah Jokowi dalam menghadapi isu bermuatan SARA ini berbedan dengan pemerintah SBY yang tanggap saat beredar isu adanya larangan berjilbab di SMAN 2 Denpasar pada awal Januari 2014. Maka, ketika isu larangan jilbab di Bali kembali dipanaskan pada awal Agustus lalu, masyarakat tidak mudah terprovokasi.
Pengkondisian umat Islam sebagai kelompok yang di posisikan dalam ancaman tentu saja dapat dimanfaatkan oleh kelompok yang menghendaki konflik terbuka. Dan, ISIS menjadi kelompok yang sangat diuntungan dengan kondisi ini. ISIS dapat memanfaatkan kondisi psikologis umat Islam yang terancam tersebut untuk mengadakan perlawanan terhadap pemerintah dan kelompok-kelompok penentang negara Islam lainnya.
Jika, isu-isu bermuatan SARA yang mengancam kebhinekaan bangsa terus didiamkan sama saja artinya dengan menggemburkan tanah bagi tumbuh-kembang ISIS. Tidak hanya itu, apakah pemerintah, termasuk aparat keamanannya, akan terus mendiamkan adanya ancaman pembunuhan terhadap Presiden RI seperti yang dilakukan lewat media sosial. Dan, jika presidennya saja diancam aparat keamanan mendiamkan saja, bagaimana dengan rakyat. Dengan adanya ancaman ISIS terhadap TNI, Polri, Banser NU di sisi lain terlihat fakta adanya pembiaran ancaman terhadap presiden, maka rakyat akan berpikir, “Bagaimana dengan kami?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H