Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

(Lakon Anyar) Arjuna Gugat

6 Januari 2015   06:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:44 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Setelah membunuh Adipati Karna dalam parang tanding hidup-mati, Arjuna tidak pernah lagi terlibat dalam pertempuran besar satu lawan satu dalam Baratayudha. Sangkuni, Dursasana, dan Duryudana semuanya dibinasakan oleh Bima. Ada apa dengan Arjuna? Inilah lakon yang belum pernah diceritakan sebelumnya.)

[caption id="attachment_363333" align="aligncenter" width="378" caption="Arjuna dalam sosok wayang orang"][/caption]

“Hidup Arjuna ... hidup Arjuna ... hidup Arjuna....!” Sorak-sorai kemenangan prajurit Pandawa bersahutan.

Tapi, aku tidak sanggup menyambut sorak-sorai itu. Bahkan untuk mengangkat wajahku pun tidak mampu. Bukan karena tenagaku yang terkuras setelah perang tanding melawan Adipati Karna. Bukan karena memar-memar yang membirukan kulitku. Bukan juga karena luka-luka yang menggoresi kulitku. Bukan itu!

Di tegah sorak kemenangan prajurit Pandawa yang mengelu-elukanku, aku menyaksikan pandangan merendahkan dari prajurut Kurawa. Bahkan sempat kulihat seorang prajurir Kurawa meludah begitu kereta perangku melewatinya. Jika saat itu tidak ada yang menyergap pikiranku, hampir saja aku melompat untuk menghajarnya..

“Kakang turunkan aku di sini,” pintaku pada Kresna setelah melewati garis belakang pertahanan pasukan Pandawa.

“Kenapa, Arjuna?” jawab Kresna tanpa menoleh.

“Aku ingin menenangkan pikiran sejenak.”

“Perkemahan kita masih jauh.”

“Aku tidak ingin ke sana.”

Kresna menghentikan kereta perang. “Lihat luka-lukamu. Kau butuh perawatan.”

Aku tidak menjawab. Dengan lunglai aku turun dari kereta perang yang dikusiri Krena.

“Kakang tidak perlu mencariku. Aku pasti kembali.”

Kresna mengangguk.

“Terima kasih, Kakang,” ucapku lalu pergi meninggalkannya.

“Arjuna, senjatamu tertinggal!”

Tapi, aku tidak menghiraukannya lagi. Aku terus menjauh menuju.

Ingatanku melayang pada saat-saat sebelum aku membunuh Karna. Masih terbayang tatapan Karna sewaktu kubidikan Pasopati ke arahnya. Begitu mudahnya aku membidik.  Ketika Pasopati kulepas, kereta perang yang ditunggangi Karna tidak bergerak sama sekali. Pasopati meluncur deras. Prabu Salya yang menjadi kusir kereta perang hanya diam tidak menghentak tali kekang yang dikendalikannya. Dan, masih terbayang jelas ketika Pasopati memenggal kepala Karna. Inilah bayangan yang menyergap pikiranku ketika mendengar cibiran prajurit Kurawa yang membuang ludahnya tadi. Dan, bayangan itu kembali melintas.

Kenapa Salya hanya diam saja? Kenapa Salya tidak seperti Kresna yang menghentak-hentakan tali kekang yang membuat kuda bergerak liar ketika Karna membidikku? Gerakan kuda yang menyulitkan Karna membidikku. Salya seperti sengaja memudahkanku mengalahkan Karna. Kenapa Salya melakukannya? Bukankah Karna menantu Salya sendiri.

Pertemuan antara aku dan Karna dalam Baratayudha ini sudah ditakdirkan. Aku sudah menunggu cukup lama untuk itu. Aku sudah menyiapkan diri, baik laku raga maupun laku batin. Aku tahu bila aku tidak akan sanggup menghadapi Konta, senjata sakti yang disiapkan Karna untuk menghadapiku di Kurusetra. Jangankan aku, para dewa pun tidak sanggup menghindar dari kematian ketika Konta sudah dilepaskan dilepaskan. Dan, aku sudah siap untuk mati! Aku sudah siap menghadapi takdir seburuk apapun..

“Benarkah aku telah siap dengan takdir terburukku?”

Ingatan lain melintas.

“Kalau sampai matahari tenggelam aku tidak berhasil membunuh Jayadrata, aku akan membakar diri!” sumpahku beberapa hari yang lalu setelah mendengar kematian putraku Abimanyu.

Abimanyu putraku terkurung dalam pusaran gelar pasukan Kurawa. Ia dirajam ratusan anak panah oleh bala pasukan Kurawa sebelum akhirnya Jayadrata memecahkan kepalanya dengan gada.

Kalau bukan karena kesaktian Kresna yang mampu mengubah terang benderangnya siang menjadi gelap gulita, sehingga mengecoh Jayadrata untuk keluar dari perlindungannya, saat itu pastinya aku sudah memenuhi sumpahku: mati membakar diri.

Krasna telah menyelamatkanku dari kematian.

Lalu kemarin, Kresna memerintahkan Gatotkaca untuk memancing kemarahan Karna. Pancingan itu berhasil, Karna melepaskan Konta yang hanya sekali pakai itu untuk membunuh Gatotkaca. Akibatnya, Karna tidak lagi memiliki Konta yang sejak lama disiapkannya untukku. Kresna telah menukar kematianku dengan kematian Gatotkaca. Mengorbankan Gatotkaca demi hidupku.

Lagi, Krasna menyelamatkanku dari kematian.

“Tapi, bukankah dulu aku pernah mati!” ucapku. Aku mendongak memandangi langit yang mulai gelap. Seolah mataku mampu menembus Khayangan.

“Ya, aku pernah mati!”

Aku pernah mati sewaktu bertarung melawan Bambang Ekalaya. Karena cemburu oleh cerita kesaktian Ekalaya yang konon berada di atasku, aku memancing kemarahan Ekalaya dengan menggoda istrinya, Dewi Anggraini.

“Tidak mungkin Ekalaya yang hanya berguru maya pada Resi Dorna dan tidak memiliki kedua jempol tangan sanggup mengalahkanku, bahkan membunuhku,” pikirku sebelum bertarung melawan Ekalaya.

“Nyatanya aku mati di tangan Ekalaya!”

Tapi, aku dibangkitkan lagi dari kematian setelah Kresna memohonkannya  kepada Dewa.

“Aku tidak sanggup hidup, jika pembunuhku masih hidup,” kataku pada Kresna beberapa saat setelah bangkit dari kematian.

“Adikku Arjuna, engkau tidak mungkin sanggup membunuh Ekalaya selama cincin Mustika Ampal masih berada di jarinya.”

“Kakang, aku tidak akan sanggup menanggung malu seumur hidupku selama Ekalaya masih hidup.” Aku diam beberapa saat. “Biarkan aku mati.”

“Jangan, Adikku. Nanti kita cari cara untuk membunuh Ekalaya.”

Lantas, tercetuslah siasat untuk membunuh Ekalaya. Bukan siasat, lebih tepatnya tipu muslihat. Tipu muslihat yang tidak terpikirkan oleh manusia terlicik sekalipun.

Dengan ajian Halimun, aku dan Kresna menghilang dari pandangan. Dari balik patung Dorna, Kresna menirukan suara Dorna. “Ekalaya, muridku, aku minta engkau melepas cincin Mustika Ampal dari jarimu,” kata Kresna yang menirukan suara Dorna.

“Baiklah Guru,” sahut Ekalaya beberapa saat kemudian. Lalu ia melepas cincin saktinya dan meletakkannya di depan patung Dorna.

Melihat Ekalaya melepas cincin saktinya, kutikam jantungnya. Ekalaya pun roboh bersimbah darah. Setelah itu aku masih sempat menyaksikan Dewi Anggraini yang menghambur sambil menjerit menyaksikan suaminya berkalang tanah. Lantas kulihat dengan mataku sendiri saat Anggraini melakukan bela pati, menikamkan pisau ke jantungnya sendiri. Hanya aku dan Kresna yang mengetahui persis kejadiannya. Hanya aku dan Kresna yang tahu apa yang telah kami lakukan.

Selain aku dan Kresna, tidak seorang pun yang menyaksikan kejadian itu. Terpenting, aku tidak harus menundukkan wajah karena menanggung malu atas kekalahanku. Dan gelar ksatria tidak lepas dari namaku.

“Pantaskah gelar ksatria untukku? Pantaskah seorang ksatria membunuh lawannya dengan cara terlicik seperti itu?” kataku keras, “Wahai Dewa jawablah?”

Memang aku tetap Raden Arjuna, Ksatria Panengahing Pandawa. Lelananging Jagad. “Benarkah aku bangga dengan sederet sebutan itu?” Aku bertanya pada para dewa yang mendengarku dari khayangan. “Tidak!” teriakku lantang.

Sesungguhnya dalam hati kecilku aku menangis. Aku malu dengan serentetan gelar itu. Ingin rasanya menjerit sekerasnya setiap teringat perbuatanku kepada Ekalaya. Di saat ingatan itu datang, aku merasa tidak pantas tinggal di istana dengan segala kemewahannya. Di saat itu aku keluar dari istana sebagai rakyat kebanyakan dengan nama samaran Palgunadi. Dari nama kecil  Bambang Ekalaya, Palguna.

“Wahai Dewata yang agung,” teriakku lantang membahana. “Aku bisa menerima kalau kebangkitanku karena Baratayudha menungguku. Aku bisa paham kalau Kresna memuslihati Jayadrata karena perangku melawan Karna sudah ditakdirkan.”

Nafasku mulai memburu.

“Tapi, kenapa di saat perang yang terpenting dalam hidupku, aku masih saja diselamatkan? Kenapa aku dipermalukan seperti itu. Dipermalukan di saat bersejarah seperti ini. Di saat banyak mata yang menyaksikannya. Perang yang dicatat pada lembaran lontar.”

Dadaku semakin sesak .Kucoba mengatur nafasku. Kurasakan air mataku mulai memgambang.

“Aku memang menang. Aku memang berhasil membunuh Karna. Tapi itu semua karena pengkhianatan Prabu Salya kepada Karna. Bukan karena kemampuanku. Apakah kalian para dewa menganggap aku tidak mampu mengalahkan Karna?”

[caption id="attachment_363334" align="aligncenter" width="259" caption="Pagelaran wayang kulit Karna tanding"]

14204740561722332992
14204740561722332992
[/caption]

Air mataku mulai menetes.

“Hai Dewata yang agung, kalian tahu jika keturunanku nanti akan menjadi raja-raja di Astinapura. Tapi, nyatanya kalian telah memberi meraka malu. Malu memiliki garis keturunan dari lelaki macam aku ini. Lelaki yang tidak pantas disebut ksatria.”

“Hai Dewata yang agung, bunuhlah aku saat ini juga!”

Sumber foto:

fotografi.lfm.itb.com

Pitoyo.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun