Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Nafasku Terhenti, Aku akan Hidup

16 Januari 2015   18:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:01 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kukecup sekali lagi lipatan surat dari Kejaksaan Agung. Surat yang memberitahukan waktu dan tempat aku akan dieksekusi mati. Waktu yang sudah lama aku tunggu. Lalu kuletakan lagi lipatan surat itu di atas bantal tempat aku merebahkan kepalaku pada tidurku nanti malam.

“Bang, kenapa Abang begitu bahagia dengan surat itu? Bukankah itu surat maut yang akan membunuh Abang?” Teman satu selku bertanya beberapa saat kemudian.

“Benar sobat. Dengan surat ini, Kejaksaan Agung telah menentukan waktu bagi satu peluru untuk menembus ragaku dan bersarang di jantungku. Peluru yang akan mengakhiri nafasku. Peluru yang akan mengakhiri detak jantungku.” Aku mengembangkan senyumku.

“Dan, Abang menjadi bahagia karenanya?”

“Sobat, sejak lama aku merenung. Sejak aku masih mendekam di Cipinang. Ketika berada di balik jeruji sel, aku melihat teman-temanku, sesama tahanan, yang berada di luar jeruji. Mereka asyik bermain kartu. Ada yang bermain catur. Ada yang menonton televisi. Ada yang bersenda gurau. Ada yang bermain bola di tanah lapang. Dan masih banyak lagi. Aku bertanya bukankah mereka sedang dipenjara? Bukankah mereka sedang direngut kebebasannya? Kenapa mereka seolah merasa bebas lepas seolah tidak ada kekangan?

Lalu, aku bertanya adakah yang lebih bebas dari mereka? Jawabnya, tentu saja saudara-saudara kita yang berada di luar pagar rumah tahanan. Saudara-saudara kita yang berada di luar tahanan bisa lebih bebas lagi bermain kartu. Bisa lebih bebas lagi bermain bola. Bisa lebih leluasa lagi bepergian. Dan, tentu saja bebas memilih waktu untuk bercinta.” Aku berhenti sejenak. “Tapi, adakah yang lebih bebas dari saudara-saudara kita yang berada di luar pagar penjara?”

“Apa ada yang lebih bebas dari mereka yang berada di luar penjara?”

“Sobat, apakah saudara-saudara kita yang berada di luar pagar rumah tahanan sudah bebas dari kebutuhan, sudah bebas dari keinginan, sudah bebas dari hawa nafsu?”

Temanku terdiam.

“Belum. selama kita masih membutuhkan segala sesuatu saat itu kita belum terbebas. Kita masih terpenjara oleh kebutuhan. Kita dipenjara oleh kebutuhan makan dan minum, oleh pakaian, oleh obat, oleh hiburan, oleh komunikasi, oleh pemberitaan, oleh birahi,  dan masih banyak lagi. Dan, kebutuhan-kebutuhan itu akan terus ada selama kita masih berada di dalam jasad ini.”

Temanku tertawa terkekeh. “Maksud Abang, badan kita ini penjara bagi kita?”

“Tepat! Tubuh kita ini seperti cangkang telur bagi kita. Kalau cangkang ini pecah maka bebaslah kita. Bahkan lebih bebas dari teman-teman kita yang saat ini berada dalam tahanan.”

“Jadi kebebasan adalah kematian. Karenanya Abang bahagia?”

Aku menggeleng pelan. “Hidup adalah ketika kita lepas dari jasad ini. Karena kehidupan di dunia ini sebenarnya adalah kematian. Sobat pasti pernah mendengar ‘Mati lo sekarang dipenjara!’? Bagi yang berada di luar penjara, hidup di dalam sel tahanan adalah kematian. Begitulah kurang lebih perumpamaannya.

Hidup sejati adalah kehidupan yang sudah tidak tersentuh lagi oleh kematian. Hidup sejati adalah kehidupan yang tidak lagi menumpang pada raga. Wadah yang bisa tusak, bahkan musnah. Kehidupan sejati tidak membutuhkan pemenuhan nafsu-nafsu badaniah. Kehidupan di dunia sekarang ini bukan kehidupan yang sejati, karena masih akan dihampiri oleh kematian. Sobat, kehidupan sejati adalah hidup bersama Sang Pemberi Hidup.”

“Maksudnya, setelah eksekusi itu Abang akan selamanya karena tidak ada lagi kematian?” tanya teman satu selku. “Aku masih ingat wajah-wajah bahagia tiga pembom Bali. Mereka bahagia, katanya mereka akan mati dan masuk ke dalam surga di mana kenikmatan ada disekitarnya, makanan-makanan lezat, segelas susu, buah-buahan segar, baju-baju indah, dan  puluhan bidadari yang siap melayani. Apakah karena surga dan segala isinya itu juga yang membuat Abang begitu bahagia?”

Kembali aku tersenyum. “Kalau di surga masih ada makanan lezat, minuman, baju, bidadari, komunikasi dengan bahasa dunia, dan lainnya, apa bedanya dengan hidup di dunia yang masih terpenjara oleh kebutuhan lapar, haus, dan birahi.” Kutepuk bahu teman satu selku. “Surga mereka berbeda dengan alam yang akan kujelang beberapa waktu lagi. Setelah nafasku ini terhenti oleh peluru tajam, aku akan hidup. Di sana aku hidup tanpa dorongan kebutuhan lagi. Tanpa lapar. Tanpa haus. Tanpa tubuh yang harus ditutupi oleh pakaian. Juga tanpa birahi.

Aku akan benar-benar hidup sebagaimana sejatinya kehidupan Sang Pemberi Hidup.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun