Presiden Joko Widodo menegur para gubernur dan menterinya yang lebih memilih belanja impor ketimbang mengonsumsi produk lokal beberapa hari lalu, dalam acara Afirmasi Bangga Produk Indonesia yang digelar di Bali. Presiden meyakini, bahwa tanpa mengimpor produk yang bisa dibuat di dalam negeri kemudian diikuti dengan memilih berbelanja produk dalam negeri, maka lapangan kerja akan terbuka lebar.
Bila kita ingat, bahwa kekhawatiran terhadap tingginya angka impor sebenarnya juga sempat diungkapkan Presiden tahun lalu tepatnya pada rapat Kementerian Perdagangan tahun 2021. Saat itu, Presiden memerintahkan agar menggemakan stop membeli produk luar negeri, bahkan menyarankan agar pusat perbelanjaan memberikan ruang bagi produk Indonesia khususnya UMKM agar tidak diisi dengan merek-merek dari luar negeri.
Bicara tentang berhenti membeli produk luar negeri, berarti kita harus bisa menyediakan produk substitusi yang diproduksi di dalam negeri atau disebut juga dengan substitusi impor. Untuk bisa menghasilkan produk substitusi impor, berarti kita harus memperkuat sektor manufaktur nasional, yang sayangnya (menurut saya) selama ini belum berhasil.
Mengapa strategi industrialisasi substitusi impor belum mencapai tujuan yang diinginkan? Menurut saya, hal ini tidak lepas dari kinerja dan arah perdagangan nasional. Fokus selama ini sepertinya lebih ditujukan untuk menghasilkan surplus perdagangan. Padahal arah perdagangan nasional seharusnya bisa dikaitkan dengan sistem perdagangan secara komprehensif. Kebijakan perdagangan nasional sebisa mungkin inline dengan sistem industrialisasi yang outward looking (berorientasi ekspor) dan sekaligus dapat mensubstitusi impor.
Industri yang outward looking adalah bagaimana industri dalam negeri menghasilkan produk untuk ekspor ke pasar dunia, sehingga meningkatkan peran pada rantai pasok global. Konsekuensinya memang cukup menantang, mengingat pemerintah harus berani mengurangi atau bahkan menghilangkan kebijakan tarif, kuota hingga hambatan perdagangan lainnya.
Cita-cita menuju industri yang outward oriented memang challenging, karena akan bertabrakan dengan upaya pemerintah mensubstitusi impor. Â Kebijakan substitusi impor, biasanya akan diikuti dengan kebijakan protektif lainnya seperti tarif, kuota impor, subsidi produksi dan (kadang-kadang) nilai tukar. Namun demikian, tahapan itu seharusnya hanya diterapkan sebatas periode tertentu karena sebagai stimulus kepada infant industry hingga sampai mereka mampu menghasilkan produk yang kompeten.
Sayangnya, kebijakan tersebut hingga kini belum mencapai tujuan yang diinginkan. Industri dalam negeri sepertinya mager dan menikmati posisinya sebagai pemasok kebutuhan nasional tanpa pesaing di pasar domestik. Kondisi ini bisa jadi dampak dari penerapan kebijakan protektif untuk melindungi produk dalam negeri, yang kualitas produknya belum maksimal atau bahkan lebih mahal. Alhasil, kita lupa atau bahkan abai untuk meningkatkan teknologi dan kualitas produk dalam negeri.
Kebijakan protektif tersebut memang seharusnya secara bertahap dikurangi, sehingga produsen dalam negeri mampu bersaing dengan produk luar negeri yang notabene lebih berkualitas dan lebih murah. Karena bila terus berlanjut akan muncul kekhawatiran, dimana pemerintah tidak punya pilihan selain melanjutkan kebijakan protektif tadi.
Well, instruksi mengurangi impor dan menggunakan produk dalam negeri sepertinya sangat menantang dan sulit Bapak Presiden. But again, it is never wrong to do the right thing (Mark Twain).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H