Ancaman Varian Baru
Belum hilang dari ingatan ganasnya varian Delta Covid-19 yang merajalela di bulan Juli-Agustus 2021, kini muncul lagi varian baru Omicron atau B.1.1.529 datang mengancam. Varian yang katanya berasal dari daratan Afrika itu, diindikasi menular lebih cepat 3 -- 5 kali dibandingkan varian Delta. Terbayang gambaran kondisi PPKM darurat lalu, namun dengan intensitas 5 kali lebih gawat.
Omicron sebagaimana varian Delta atau Covid-19 pada umumnya, tidak hanya mengancam keselamatan jiwa manusia, namun juga ke banyak sendi kehidupan termasuk perekonomian. Sejak menjadi pandemi di awal tahun 2020, tekanan Covid-19 pada perekonomian begitu terasa. Bagaimana tidak, Indonesia yang ekonominya selalu tumbuh sekitar 5 persen setiap tahunnya harus menerima kenyataan anjlok -2,07 persen. Kondisi global bahkan lebih menyedihkan, terpuruk hingga -3,4 persen.
Ancaman terhadap ekonomi nasional yang mulai bergerak membaik, jelas perlu diwaspadai. Sektor mana saja yang riskan untuk terpuruk, harus segera dimitigasi. Perhatian sektor apa, bisa dilihat dari rumus Y =C+I+G+(E-M) yaitu Konsumsi Masyarakat (C), Investasi (I), Belanja Pemerintah (G), hingga Ekspor-Impor (E-M).
Tekanan Pada Perekonomian
Konsumsi masyarakat, sebagai kontributor utama ekonomi nasional, sangat rentan terpukul. Kebijakan pembatasan kegiatan (PPKM) sangat mungkin diterapkan Pemerintah, sebagai langkah penanganan. Akibatnya aktifitas masyarakat menjadi sangat terbatas, sehingga ekonomi tidak bergerak dampak turunnya kegiatan belanja dan berakhir dengan melemahnya kesejahteraan atau daya beli.
Masyarakat bahkan dikhawatirkan seperti sudah jatuh tertimpa tangga, mengingat saat ini sedang dihadapkan dengan situasi naiknya harga kebutuhan sehari-hari. Menteri Perdagangan bahkan mengonfirmasi kenaikan harga minyak goreng yang terdampak pasokan CPO, juga telur dan cabai yang terdampak musim penghujan maupun kelancaran pasokan. Selain itu, ada libur perayaan Natal dan Tahun Baru yang biasanya juga memberi pengaruh pada kenaikan harga.
Tidak bergeraknya ekonomi merembet kepada tertundanya arus investasi, mengingat investor merasa dananya lebih aman bila dilarikan dalam bentuk save haven, seperti emas misalnya. Kondisi yang pernah terjadi saat awal-awal Covid-19 melanda di tahun 2020, dimana demand emas sangat tinggi hingga mendorong kenaikan harga yang signifikan. Investasi langsung atau Foreign Direct Investment (FDI) jangan ditanya, sudah pasti tiarap sementara waktu.
Konsumsi masyarakat yang nyungsep, tentu menekan permintaan terutama barang konsumsi. Bila itu terjadi maka industri akan mengalami kesulitan, mengingat supply-nya tidak terserap maksimal. Alhasil perusahaan akan mengurangi beban produksi, salah satunya dengan me-lay off-kan pegawai. Kondisi ini jelas menambah masalah yang kita bahas sebelumnya, yaitu pelemahan daya beli masyarakat.
Lesunya industri tidak hanya berdampak pada konsumsi masyarakat, namun juga aktifitas impor-ekspor nasional. Impor nasional yang sekitar 75 persennya berupa bahan baku dan penolong, jelas akan terimbas perlambatan sektor industri. Lemahnya daya beli masyarakat juga mempengaruhi impor nasional, terutama impor atas barang konsumsi yang porsinya sekitar 13 persen. Tekanan aktifitas impor masih bertambah dari efek melambatnya investasi, terutama pada impor atas barang modal yang kontribusinya sekitar 12 persen.
Pun demikian dengan ekspor, yang diperkirakan mendapat tekanan dari melambatnya industri. Selain kondisi dalam negeri, ekspor juga terpengaruh situasi negara tujuan, yang tidak tertutup kemungkinan perekonomiannya terdampak Omicron. Ekspor dari sektor industri atau manufaktur yang memiliki value added, seperti besi/baja atau otomotif, jelas terhambat ekonomi negara tujuan yang melambat mobilitas maupun geliat industrinya.