Mohon tunggu...
Gatot Winarko
Gatot Winarko Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Bola

P-S-S-I (Plis-Sekali-Sekali-Insyaf)

12 November 2015   11:10 Diperbarui: 12 November 2015   11:10 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lagi-lagi saya terusik dengan sebuah organisasi dengan nama P-S-S-I. Entah saya mendukung siapa, tapi nurani dan pikiran saya selalu mengarah ke reformasi P-S-S-I. Dan ini adalah momentum yang sangat tepat untuk mereformasi PSSI.

Sejak kepemimpinan Nurdin Halid, PSSI seringkali menuai kontroversi. Isu perombakan selalu muncul tiap waktu. Berlanjut hingga tampuk pimpinan dipegang Johar Arifin dan kemudian La Nyalla Mataliti. Tapi hasilnya sangat tidak signifikan dibandingkan tuntutan yang sangat besar. Penyebabnya adalah pemerintah yang kurang proaktif. Mungkin pemerintah kala itu dilematis, dimana PSSI adalah lebaga superbody. Intervensi pemerintah adalah kiamat. Maka pemerintah sangat berhati-hati dalam menyikapi konflik PSSI.

Diantara ragu dan hati-hati, ujung konflik dahsyat selalu rekonsiliasi, win-win solution. Bagi orang yang wise, ini adalah hasil yang ideal. Konflik mereda dan program-program dijalankan bersama. Namun, belum genap setahun, muncul lagi konflik, dengan dengan multiple efek karena ditambah-tambah dengan konflik terdahulu yang belum tuntas, tas.

Bagi pendukung (pengurus) PSSI, harus kita akui bahwa struktur organisasi dan manajemen PSSI dalam mengelola sepak bola Indonesia belumlah ideal. Regenerasi tidak berjalan optimal, dimana mulai dari Ketum dan Exco hampir selalu dipegang oleh orang yang sama dari periode ke periode. Mereka juga telah membentuk clan dan berteman akrab. Permasalahannya, jika ada masalah, maka para sahabat akan saling menutupi. Entah itu karena ikut terlibat atau karena rasa setia kawan yang tinggi. Kurangnya sikap profesional dan integritas tentu akan berujung pada kongkalikong dan bermuara kepada kebusukan yang tak tercium.

Namun jika kita melihat PSSI akhir-akhir ini di bawah kepemimpinan La Nyalla Mataliti (sebelum kena disanksi FIFA), ada progres yang seharusnya membuat PSSI bisa ‘dimaafkan’. Memang ada beberapa masalah di era La Nyalla, namun di bawah La Nyalla PSSI terlihat lebih kondusif. La Nyalla sepertinya orang yang tepat untuk memimpin PSSI. Soal sepak bola gajah, tim yang bermain adalah yang paling bertanggungjawab, tugas PSSI untuk memberi sanksi sudah dilakukan. Sementara pengaturan skor merupakan masalah klasik yang bisa terjadi di mana saja.

Akan tetapi untuk keterlambatan gaji pemain, Menpora lebih jitu daripada PSSI. Menpora ingin memastikan bahwa kondisi finansial klub dalam keadaan sehat lewat verifikasi ketat BOPI. Tujuannya adalah agar tidak terulang masalah tahun lalu, gaji yang terlambat.

Namun kemudian masalah melebar. Menpora yang sepertinya terlanjur ‘sakit hati’ lantas memasukkan isu-isu pengaturan skor dan skandal lain yang malah membuat masalah menjadi sangat rumit. Menpora seolah mencari-cari kesalahan yang dipaksakan untuk agenda tertentu. Inilah yang kemudian membuat respek pendukung Menpora perlahan mulai luntur dan menuding balik Menpora punya kepentingan tertentu untuk menghancurkan PSSI, atau sekedar pencitraan.

Sepakbola adalah olahraga yang saya cintai. Saya bahagia jika Liverpool menang, lebih-lebih merengkuh gelar. Apalagi jika Timnas yang berprestasi. Gemuruh di dada seringkali mengembun menjadi titik-titik air di sekitar pipi. Haru dan bangga menyatu.

Maka dari itu,inilah waktu yang tepat untuk reformasi. Hal ini karena adanya dukungan dan perhatian dari pemerintahan Jokowi yang (benar-benar) ingin sepakbola menjadi olahraga berprestasi seperti bulutangkis. Selain itu, saat ini sanksi belum dicaabut, maka sekarang adalah waktu yang tepat untuk berembug, bertukar ide untuk dilaksanakan ke depan. Inilah waktu yang tepat untuk membangun fondasi untuk masa depan persepakbolaan Indonesia.

Lantas apa yang direformasi?

Kepengurusan dan transparansi pengelolaan dana adalah hal yang perlu didahulukan. Mengenai upaya pencegahan pengaturan skor, maka harus ada badan semacam komdis yang harus bersikap tegas dan keras. Pelaku, entah itu pemain, pihak klub maupun pengurus PSSI harus dijatuhi sanksi yang berat untuk memberi efek jera. Semoga tidak ada lagi penyelasaian sengketa dengan cara’sidang di tempat’. Lagi-lagi Menpora harus duduk bareng pengurus PSSI. Bersikap terbuka dan berjiwa besar untuk satu tujuan bersama.Insyaf meredam ego dan tujuan pribadi, sekali-sekali saja Pak, Pliss. Mari Indonesiaku. Kita Pasti Bisa. Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun