20 Juli
Zulmie cepat-cepat memacu motornya menuju kantor harian Nasional Pos. Ia merasa informasi dari pihak kepolisian, pihak pengelola jalan tol dan beberapa orang saksi mata sudah cukup untuk artikelnya.
Tiba di kantor, tergopoh-gopoh ia berlari menuju bilik kerjanya. Menyerobot beberapa orang yang sedang berdiri mengobrol di tengah koridor, lalu menabrak seorang office boy, sehingga kertas-kertas yang ia bawa berjatuhan. Seperti biasanya, kata-kata bernada makian keluar dari wartawan yang sudah lima tahun bekerja di koran itu. Office boy itu hanya bersikap pasrah dan memunguti kembali kertas-kertas itu. Dua gelas air mineral dingin dari dispenser sejenak memberinya penyegaran bagi tenggorokannya yang kering setelah melakukan wawancara dengan beberapa orang tadi. Kurang satu setengah jam dari waktu deadline. Harian ibukota terkenal itu akan menerbitkan liputannya tentang kecelakaan beruntun di jalan tol lingkar barat yang terjadi sekitar tiga jam yang lalu.
Ia lemparkan tas ranselnya di sudut biliknya, lalu menyalakan komputer dan segera bekerja. Jari-jarinya mulai menekan tuts-tuts keyboard dengan cepatnya. Layar monitor segera penuh dengan kalimat-kalimat. Sesekali ia melihat jarum jam dinding yang terus berdetak menuju waktu deadline. Di sekitar bilik kerjanya, wartawan-wartawan lain juga sibuk di depan komputer masing-masing. Saat ini, ia yang paling senior untuk liputan dalam kota.
Tidak lama artikelnya selesai. Ia baca ulang, mengedit beberapa bagian dan melampirkan pula foto kejadian. Selesai. Ia tekan tombol submit, liputan segera terkirim ke bagian lay-out.
Ia menghela nafas lega. Wajahnya nampak kusut karena kelelahan. Seharusnya ia tidak di sini. Putrinya Nisya hari ini berulang tahun dan merayakannya sore hari tadi bersama teman-temannya. Ia belum pulang ke rumah. Padahal ia sudah berjanji hendak mengajak Nisya ke toko mainan anak untuk membeli boneka Winnie the Pooh kegemarannya. Bocah lima tahun itu pasti sedang menangis karena bapaknya belum pulang.
Ia keluarkan ponsel dari saku celana kanannya. Lalu, ia menelepon ponsel istrinya.
“Halo, Ayah…?”
“Bu, aku masih di kantor…” , ia duduk bersandar dengan santai. Kedua kakinya ia letakkan di atas meja kerjanya. Ia membuka sebotol kopi cair dalam kemasan dari tasnya dan meminumnya beberapa teguk.
“Ayah, Nisya tadi menangis… Ia marah menunggumu sedari tadi. Kau dimana sekarang ?” .
“Ya, aku mau pulang Bu ! Tadi ada kecelakaan yang harus kuliput.”
“Susah sekali menidurkan Nisya. Sedari tadi merengek dan menangis mencarimu.”
“Ya,ya…nanti aku minta maaf ke Nisya. Besok aku mau ajak Nisya aja siang-siang.”
“Eee…Yah, aku jadi ingat kalau kawanmu si Fryda khan punya koleksi boneka. Coba kau tanya ke dia. Barangkali dia punya boneka Winnie. Pinjam saja sebentar. Nanti kita berikan ke Nisya supaya ia mau tidur.”
“Mmm…ya…coba kutanyakan. Nah, itu dia baru mau berkemas…” Ia melirik gadis berkaca mata di sebelah sana sedang merapikan mejanya. Fryda sudah hendak pulang.
“Sudah dulu ya, Bu…Pasti aku bawakan. Bye…” Ia mematikan telepon.
“Fryda !!” Zulmie menghampiri Fryda.
Gadis yang berdiri di dekat mejanya itu menoleh ke arahnya. Kaca matanya ia betulkan sedikit. Ia masih memegang beberapa berkas kertas, hendak dimasukkan ke map merah di mejanya.
“Ada apa, Zul ?”
“Eee…anu Fryd…” Zulmie mengusap janggutnya.
Fryda mengangkat alisnya. Lalu, Zulmie menceritakan semuanya. Fryda mengerti, tapi ia juga merasa berat hati. Boneka itu ada di rumah. Zulmie dengan senang hati akan mengantarkan pulang Fryda dan sekalian meminjam boneka itu.
“Nanti kuganti deh, sumpah !!” Tapi Fryda hanya tertawa kecil.
Ia sudah hendak pulang dari rumah Fryda ketika Fryda mengangsurkan kotak berisi boneka itu.
“Zul, boneka itu kuberikan ke Nisya. Met ultah buat dia ya ?” Fryda menyunggingkan senyumnya. Zulmie merasa tidak enak dan berjanji akan menggantinya. Tetapi Fryda tetap bersikukuh boneka yang ia beli di Amerika beberapa minggu lalu itu ia berikan untuk Nisya. Ia bisa beli lagi nanti. Zulmie mengucap beberapa kalimat terima kasih dan berpamitan pulang. Ia segera men-start motornya.
Nisya sudah tidak menangis lagi ketika ia membuka kotak itu. Boneka Winnie the Pooh dari ayahnya segera ia peluk. Ia mengucapkan terima kasih kepada ayahnya. Setelah itu ia dibimbing mamanya masuk ke kamar untuk tidur. Sudah lewat tengah malam, hampir pukul satu dini hari. Ia harus beristirahat. Ia duduk di sofa ruang tamu, bernapas penuh kelegaan dan melihat sisa-sisa pesta ulang tahun Nisya tadi sore yang belum sempat dibereskan oleh istrinya.
24 Juli
Hari ini ada unjuk rasa di gedung dewan. Walau cuaca panas terik, ratusan orang mendatangi gedung dewan. Mereka mewakili kelompok masyarakat yang tidak setuju atas kenaikan berbagai harga bahan pokok dan bahan bakar secara bersamaan yang ditetapkan oleh pemerintah mulai 20 Juli lalu. Ada pula isu korupsi di perusahaan minyak negara yang dihembuskan oleh salah satu kelompok menambah beraneka ragam kepentingan masyarakat yang bergulir di sana. Puluhan penjual makanan dan minuman memanfaatkan momen itu untuk melariskan dagangannya.
Zulmie tengah berada di kerumunan orang-orang itu ketika ponselnya bergetar di saku celananya. Dari pemimpin redaksinya di kantor. Ia diminta segera kembali ke kantor karena Wang Hasan dan Maliki akan menggantikan tugasnya. Ketika ia hendak menanyakan alasannya, Bang Jupi – begitu pemimpin redaksinya selalu dipanggil, hanya mengatakan ada tugas baru untuknya. Ia menyanggupi untuk kembali dan memasukkan kembali ponsel itu ke saku celananya.
Bang Jupi sedang meminum kopinya seteguk ketika ia tiba. Zulmie langsung duduk di salah satu kursi di bilik kerja Bang Jupi. Ia mengusap keringat di wajahnya dengan sapu tangan. Udara dari AC memang menyejukkan dirinya, tetapi tidak menyurutkan peluhnya. Ia menceritakan keadaan di gedung dewan dan mengatakan kalau ia sudah bertemu dengan Wang Hasan dan Maliki di sana. Bang Jupi hanya mengangguk seraya membetulkan kaca matanya. Ia mengambil selembar kertas faksimili yang baru datang beberapa menit lalu di meja kerjanya dan mengangsurkan ke Zulmie. Surat berita.
“Ini dari Alfan, biro kita di Kuala Bintang. Keadaan sedang memanas di Rawa Balis. Penduduk Rawa Balis Timur dikejutkan dengan munculnya zombie yang tidak diketahui dari mana datangnya. Kini zombie-zombie itu sudah di perbatasan Rawa Balis Barat dan Rawa Balis Timur. Kita belum punya biro di situ. Kabarnya para zombie sudah menyerang warga sejumlah desa dan membakar sebuah kantor polisi.”
Zulmie masih membaca beberapa baris lagi. Ia tak percaya dengan kabar itu. Zombie? Ia membetulkan tempat duduk dan menghela nafas. Bang Jupi melanjutkan pembicaraannya.
“Kau akan ke sana hari ini. Aku memutuskan kau yang akan berangkat karena tidak ada orang lain lagi yang harus kukirim ke sana. Begitu banyak situasi buruk negeri ini yang harus kita liput. Hari ini tiga orang sudah berangkat ke daerah. Netty akan menyiapkan tiket pesawat untukmu ke Kuala Bintang. Dari sana kau akan diantar oleh Alfan ke Bentayan, kota kecamatan di Rawa Balis Barat. Aku sudah telepon ke sana bahwa kau yang akan kukirim. Kau punya waktu satu jam untuk bersiap-siap.”
“Tunggu, Bang.. Zombie? Yang benar saja, hahaha!”
“Zul ini serius!!!” bentak Bang Jupi sambil berdiri membentak meja kerjanya.
“Zombie itu nyata ada di sana dan mereka sekarang sedang menyerang di Rawa Balis!”
Zulmie terdiam. Bang Jupi menatap matanya tajam.
Sepertinya tidak ada waktu baginya untuk berpikir. Zombie? Ia sangat lelah dan tidak ada waktu dengan gurauan ini, dan karena besok adalah hari Minggu ia butuh istirahat sejenak barang sehari. Seminggu ini ia merasa tenaganya terperas di berbagai liputan ibu kota seakan tak akan habis oleh peristiwa-peristiwa. Bahkan ia tidak ada saat anaknya merayakan pesta ulang tahun di rumah. Sudah kesekian kali ia ingkar janji kepada putri semata wayangnya.
Bang Jupi melanjutkan, kali ini dengan nada lebih rendah dari sebelumnya namun dengan mimik paling serius yang pernah ia lihat.
“Zul ini benar-benar tentang zombie yang nyata-nyata ada di sana! Aku memilihmu karena kau yang terbaik dan aku mempercayaimu. Segera saja kau bersiap-siap. Udin akan mengantarmu pulang dan segeralah ke bandara.”
Telepon di depan Bang Jupi berdering. Zulmie masih tidak percaya . Bang Jupi berbicara dengan seseorang dengan sesekali mengangguk-anggukkan kepalanya
“Semua keperluanmu sudah siap. Kau segera ke Netty” katanya seraya meletakkan gagang telepon. Zulmie memberikan kertas faksimili itu kembali.
“Baiklah, aku akan ke sana…” ia berdiri dan memasang tas ranselnya.
“Selamat bertugas, kawanku!” Bang Jupi menjabat tangannya erat. Namun Zulmie menyambutnya lemas dan ia menyunggingkan senyum yang ia paksakan. Ia ingin berkata tidak, namun ini adalah panggilan tugasnya.
25 Juli, Bentayan, Rawa Balis Barat
Ia duduk di sebuah kursi di suatu rumah yang sudah ditinggalkan oleh keluarga yang sedang mengungsi. Rumah berdinding tembok berlantai dua itu tidak besar namun halamannya luas. Pemiliknya adalah salah seorang pejabat pemerintah di Kuala Bintang. Oleh kepolisian setempat, rumah itu untuk sementara dijadikan pos komando darurat karena kantor polisi maupun kantor kecamatan sudah luluh lantak dibakar zombie.
Duduk disebelahnya adalah Kepala Kepolisian Rawa Balis yang bernama Marthen Ruwwa yang sedang ia wawancarai. Tangannya menulis dengan cepat di layar gawai yang selalu ia bawa.
Pada 23 Juli malam, puluhan zombie datang dari arah Kecamatan Rawa Balis Timur berbondong-bondong mendatangi kepolisian Rawa Balis yang terletak di Rawa Balis Barat karena satu zombie dikurung di markas kepolisian tersebut. Polisi menangkap salah satu dari lima zombie yang menyerang sejumlah anak-anak yang sedang pulang bermain dari sawah. Tiga anak tewas di dekat hutan. Tidak lama, para zombie berhasil mendekati gedung kantor polisi setelah selama satu jam pihak kepolisian masih mampu melakukan perlawanan dan membuat barikade. Polisi juga tidak segan-segan menembakkan senjata ke arah zombie-zombie itu.
Namun pengerahan seluruh armada kepolisian setempat tidak mampu membendung serangan zombie yang menggila dibakar kemarahan. Mereka mendesak maju tanpa mempedulikan tembakan polisi. Sejumlah polisi tewas. Beberapa polisi melemparkan bom molotov ke sejumlah zombie yang beringas namun dengan tubuh berbalut api membara, mereka masuk ke dalam kantor kepolisian Rawa Balis. Api mulai membakar bagian dalam gedung. Para polisi mulai mengamankan diri karena mereka sudah tidak mampu lagi menahan zombie itu. Sejumlah rekan mereka telah tewas. Markas mereka pun sudah dibobol. Api membumbung tinggi menghancurkan bangunan megah berlantai dua yang baru enam bulan diresmikan. Tak sampai dua jam, gedung itu menjadi puing.
Puas membakar kantor polisi Rawa Balis, serangan zombie tak lantas berhenti. Serangan lalu menyasar ke penduduk Rawa Balis Barat dengan sedemikian cepat. Pada akhirnya kekacauan semakin menjadi. Ratusan orang tewas dibantai zombie. Ratusan penduduk Rawa Balis Barat menyelamatkan diri ke daerah seberang sungai dengan beberapa perahu yang sehari-hari digunakan sebagai alat transportasi penduduk.
Zulmie mengamati dari balkon loteng rumah itu. Asap hitam mengepul dari berbagai tempat di antara rerimbunan pohon-pohon di sana. Ia meneguk segelas air mineral dan kemudian meraih kameranya untuk mengambil beberapa gambar dari situ. Suara letusan tembakan sesekali terdengar di kejauhan. Tapi suara itu tidaklah jauh. Bahkan begitu dekat. Hari ini beberapa kompi pasukan kepolisian datang dari beberapa kabupaten dan ibu kota propinsi untuk mengendalikan situasi yang semakin mencekam. Bahkan sepasukan tentara Angkatan Darat menurut kabar juga akan datang malam ini.
Jaringan listrik daerah itu terputus, begitu pula dengan saluran telepon. Daerah itu kini sudah terisolasi dari dunia luar, kecuali radio kepolisian yang sempat diamankan.
25 Juli, malam
Pemberlakuan jam malam di Rawa Balis Timur dan Rawa Balis Barat dimulai. Naluri kewartawanannya muncul. Ia tidak ingin berada di pos sepanjang malam menerima informasi. Ia harus mencari informasi, meliput situasi dan keadaan di sana yang sebenarnya. Karena itu, ia bersama rekannya empat orang wartawan koran dan televisi meminta ijin kepada Marthen Ruwwa, sang komandan polisi untuk ikut keluar bersama puluhan anggota yang ditugaskan mengamankan situasi dengan menyisir sebuah desa. Namun dengan syarat mereka harus membawa senjata. Zulmie memilih membawa tombak besi yang dibuat oleh dua orang warga yang berprofesi sebagai tukang las keliling yang membantu polisi membuat tombak besi sebagai senjata melawan zombie.
Mereka menyusuri sebuah desa menyerupai kota mati. Tidak ada sorak-sorai anak kecil bermain dengan gembira seperti sebelumnya. Tidak ada sekumpulan pemuda tanggung yang sering mengobrol atau main kartu di gardu itu. Dimana-mana gelap. Ia tidak bisa memotret suasana malam itu.
Tiba-tiba entah darimana, zombie-zombie itu datang. Segerombolan zombie langsung menyerang mereka. Beberapa orang di barisan depan diserang habis-habisan tanpa mampu mereka lawan meski dengan senjata di tangan. Ternyata para zombie itu mampu melihat jelas di kegelapan. Zulmie segera berbalik arah berlari bersama rekannya dengan maksud kembali ke markas, namun dalam kegelapan ia tidak bisa menerka arah. Untungnya beberapa orang polisi datang menembaki mereka. Namun, malang bagi Zulmie. Kakinya terantuk batu dan seketika ia jatuh. Sekelompok zombie mengejarnya lalu membantainya dengan beringas. Beberapa kali gigi-gigi tajam itu mendarat di tubuhnya. Ia berteriak dan mencoba melawan. Tetapi ia mengalami pendarahan yang hebat dimana-mana. Tubuhnya terkoyak parah. Ia kehabisan tenaga dan kemudian terkulai lemas. Mereka meninggalkannya di sana, di tengah jalan di kegelapan malam setelah bombardir peluru dari sepasukan polisi berhasil mengusir zombie-zombie itu.
Zulmie telentang menatap bulan dan bintang di atas. Penglihatannya menembus batas atmosfer bumi yang indah. Gelap, tetapi memancarkan kedamaian. Cahaya-cahaya laksana ribuan lilin berkerjapan di kejauhan sana. Ia melihat bocahnya, Nisya dan boneka barunya, lalu ia mendekap erat istrinya bahagia. Ia merasakan hingar bingar keramaian kota. Ia melihat ketidakadilan. Ia melihat kemunafikan dunia. Ia melihat ambisi jahat. Ia merasakan jeritan hati mereka yang terpinggirkan. Dan ia melihat para zombie beringas yang haus mangsa. Air matanya mengalir pelan dari matanya ke pipinya bercampur dengan darah. Ia ingin bangkit namun ia sudah tak berdaya.
26 Juli
Artikel yang ditulis Zulmie tentang serangan zombie menjadi headline koran Nasional Pos. Sebelum ajal, Zulmie sempat mengirimkan berita dari gawainya lewat jaringan internet seluler. Berita itu menggaungkan semangat para warga menggalang kekuatan bersama militer melawan zombie hingga kekuatan mereka hilang beberapa minggu kemudian.
Sidoarjo, 26 April 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H