Akhirnya Putri sampai di Paris, salah satu kota terindah di Eropa, tempat yang sudah lama ia impikan untuk dikunjungi. Pesawat Air France yang membawa Putri dari Jakarta dengan perlahan menurun, menuju landasan bandara Charles de Gaulle. Saat ini Perancis sedang musim panas dan kelihatannya cuaca cukup bersahabat.
Ini kali pertama Putri ke tanah Perancis sekaligus perjalanan ke luar negerinya yang pertama. Kedatangannya ke negeri yang dikenal sebagai pusat mode dunia ini terwujud karena ia memenangkan hadiah utama di suatu even mode di Jakarta dari sponsor acara berupa tiket perjalanan ke Paris pergi pulang dan akomodasi.
Setiba di kota Paris, taksi mengantarkannya ke hotel Carladez Cambronne, tempat Putri akan menginap. Sebuah hotel bergaya klasik yang letaknya masih di sekitar jantung kota Paris dan lokasinya hanya selemparan batu dari Menara Eiffel. Place du Général Beuret – nama jalan di depan hotel saat ini cukup ramai. Sebagian dari mereka adalah para turis manca negara yang memang selalu berdatangan ke kota ini, apalagi ini musim panas.
Keesokan harinya, Putri sudah siap dengan daftar rencana di tangannya. Tempat pertama yang akan Putri singgahi tentu saja menara Eiffel. Dan ia berencana akan seharian di sana. Dari hotel Putri berjalan kaki ke menara yang menjadi ikon kota Paris itu dan hendak memuaskan diri di menara dan mengambil gambar.
Ketika tengah memotret dekat Champs de Mars, tiba-tiba sesosok figur yang pernah ia kenal melintas di lensa kameranya. Putri menurunkan kamera dari wajahnya. Sesaat Putri merasa tak percaya dengan sesosok pria yang sedang berjalan cepat, berkelebat di tengah keramaian orang. Fahmi?
Putri segera mengejar sosok pria yang begitu cepat tenggelam diantara keramaian orang-orang. Tergopoh-gopoh Putri melangkah cepat menembus keramaian tanpa melepas pandangan mata sedetik pun pada sosok yang kini tinggal beberapa meter jauhnya di depannya. Tunggu sampai Putri bisa memastikan ia adalah Fahmi.
“Fahmi!!” Tiba-tiba saja nama itu keluar dari mulutnya.
“Fahmi!Tunggu…!” serunya lagi sambil terengah-engah.
Mata Putri tetap tertuju pada seorang pria berkaca mata hitam, berkaos warna ungu gelap dengan celana jeans, sepatu sport putih dan tas ransel hitam di punggungnya yang dipenuhi gantungan kunci karakter kartun Spongebob.
Pria itu mungkin tidak mendengar suaranya. Ia terus berjalan tanpa menghiraukan hiruk pikuk sepanjang jalur yang ia lewati. Putri berseru lagi, kali ini lebih keras. Tetapi pria itu masih tetap tidak mendengarnya. Suara Putri tertelan oleh riuh rendah suara orang-orang di sekitarnya dan sebagian terbawa oleh hembusan angin yang bertiup cukup kencang.
Orang yang salah? Tidak mungkin… Putri yakin ia adalah Fahmi. Apalagi dengan tas ransel hitam dan gantungan kunci itu…
Namun kemudian sosok lelaki itu mengurangi kecepatan langkahnya dan berhenti, seakan ia mendengar seseorang memanggilnya. Lalu ia membalikkan tubuhnya. Putri berhenti melangkah dengan napas tersengal, ditambah perasaan berdebar yang menambah irama degup jantungnya semakin cepat.
Pria itu berada sepuluh meter jauhnya di depan dan kelihatannya ia mencari-cari asal suara yang sayup-sayup memanggil namanya. Putri masih ingin memastikan bahwa ia adalah betul-betul Fahmi; Putri menyerukan namanya sekali lagi.
“Fahmi!!”
Kini, sosok pria itu menjadi jelas setelah menatap ke arah Putri. Ya, pria itu benar Fahmi. Putri berjalan beberapa langkah ke depan, mendekat ke pria itu. Pria itu melepas kaca mata hitamnya dan mengernyitkan dahinya, seperti sedang mencoba mengenali Putri.
“Putri…?” Mimik wajahnya seketika berubah. Pria itu tersenyum.
“Putri…? Kamu…?” katanya seraya menghampiri Putri.
Putri diam tak beranjak dari tempat ia berdiri. Fahmi memeluknya, lama. Putri merasa rikuh, balas memeluk seorang pria di tengah keramaian seperti ini? Putri memilih diam tak bergerak seraya menutup kedua matanya.
“Oh, aku merindukanmu…” katanya pada Putri.
“Putri juga, Fahmi…” kata Putri datar.
Lalu Fahmi melepaskan pelukan dan memegang kedua pundak Putri.
“Comment allez-vous (bagaimana kabarmu), Fahmi ?” tanya Putri.
Fahmi memilih berbicara dalam bahasa Indonesia.
“Aku baik-baik saja, dan kamu…?”
Putri tidak menjawabnya. Sejujurnya Putri terharu dengan pertemuan tak terduga ini. Tapi Putri berusaha menutupinya.
“Putri… Wow, kau ke Paris ?”
“Ya, begitulah… Ini benar-benar fantastik. Putri menang doorprize utama even mode di Jakarta. Kukira kapan lagi ada kesempatan pergi ke Paris…”
Entah mengapa Putri jadi memandanginya. Fahmi masih tampan walau rambutnya yang ia potong cepak, jauh berbeda dengan Fahmi yang dulu. Kira-kira sepuluh tahun lalu saat terakhir mereka bertemu, rambutnya lurus panjang. Penampilan khasnya adalah rambutnya yang selalu diikat, dan Putri terpikat padanya karena penampilan rambutnya itu. Apalagi Fahmi adalah salah satu cowok terkeren di kampus. Kini penampilannya jauh berbeda. Putri menilai Fahmi terlihat lebih dewasa.
“Fahmi, sekarang kau tinggal di Paris atau…?” tanya Putri.
“Eee…tidak. Aku.. Aku hanya berkunjung saja.” sahutnya. Sepertinya Fahmi masih terpana dengan pertemuan tak terduga ini.
“Eee, Putri, kurasa lebih enak kalau kita makan siang bareng. Mmm.. Kita ke Café Constant saja. Tidak jauh dari sini, di Jalan Saint-Dominique. Ayo…”
Putri tersenyum dan mengangguk mengiyakan.
Mereka sampai di kafe tujuan dan memesan makan siang. Suasana di kafe sore itu meski ramai namun tetap nyaman. Di kafe, mereka tidak banyak bercakap-cakap selain percakapan biasa: keadaan masing-masing, kabar orang tua masing-masing, kabar teman-teman kampus dan tentang pekerjaan. Fahmi kini bekerja di sebuah perusahaan di kota Marseille, selatan Perancis.
Ketika kuliah dulu, Fahmi dan Putri pernah berpacaran di awal semester namun putus di tahun ketiga. Selama sepuluh tahun ini mereka memutuskan untuk menjalani kehidupan masing-masing. Satu hal, Fahmi belum menikah, begitu juga Putri.
Dari kafe, Fahmi mengajak Putri mengunjungi Musée d'Orsay yang terletak di tepi sungai Seine. Putri sungguh mengagumi museum ini. Memasuki museum ini ibarat menikmati parade karya seniman Eropa sekitar abad ke-19. Karya Van Gogh, Renoir dan Cezanne dipajang di sini. Bukan saja agung dengan karya seni didalamnya, tapi juga unik karena menyulap bangunan yang sebelumnya adalah stasiun kereta api.
Mereka berjalan pelan sambil berbicara, sesekali berhenti untuk mengamati sebuah karya. Sore itu museum tidak terlalu ramai pengunjung.
Mereka bercakap-cakap tentang karya seni di museum. Fahmi dan Putri adalah penikmat seni sejati. Fahmi bahkan bercita-cita menjadi kurator seni.
"Putri, ini tempat favoritku di Paris…” kata Fahmi membuka percakapan personal setelah lama mereka berbicara tentang seni.
“Rasanya aku bagai tenggelam di dalam karya-karya ini, dalam dunia yang penuh dengan imajinasi tanpa batas… Jiwaku seakan menyatu dengan karya-karya ini. Disinilah aku merasakan perasaan yang menenangkan ketika berada diantara semua karya seni ini…”
Putri memandangnya. Sepintas ada getar lirih dalam kalimatnya. Ia masih memandangi sebuah lukisan di depannya.
“Putri… Sejujurnya aku mengatakan kepadamu, saat aku membaca puisimu, aku merasakan ekspresi yang kau tuliskan bait demi bait. Bagiku, hanya kau yang dapat merasuki alam pikiranku lebih dari apapun di sini… Perasaan yang - setiap waktu selalu menenangkan batinku…”
Putri berkata dalam hati: Ia masih menyimpan puisiku?
Lalu mereka berjalan lagi, melewati area lantai kaca dengan miniatur kota Paris dibawahnya, lalu berhenti di salah satu ujung koridor.
“Putri, di tempat ini aku sering habiskan waktuku untuk merenungi hidup. Aku harus tetap tegar dan berusaha untuk berbesar hati, seperti saat kita berpisah dulu…”
Putri menoleh kepadanya dan memandanginya lekat-lekat.
Oh, Fahmi…. Maafkan Putri sayang…. Maafkan Putri… Putri tak bisa menahan situasi seperti ini. Kemudian Putri menundukkan kepala, kedua matanya meregang. Tak lama untaian titik air mata menggantung kecil di ujung kedua matanya, bertahan sebentar di sana, lalu meleleh pelan di kedua pipinya. Ia meraih tubuh Putri dan mendekapnya erat dengan kedua tangannya.
“Maafkan Putri, Fahmi…” kata Putri lirih, terisak.
“Putri… Sebenarnya aku masih mencintaimu…” Ia mengusap kepala Putri pelan. Lalu melepaskan dekapannya. Mereka saling berpandang. Sembab masih ada di wajah Putri.
Beberapa saat lamanya mereka berdua diam membisu. Lalu Putri berbicara.
“Fahmi, mungkin ini takdir kita kalau kita bertemu di Paris…” kata Putri sambil menyeka air matanya. Ia berusaha tegar, lalu melanjutkan kalimatnya.
“Sejujurnya Putri harus mengatakan kepadamu kalau tak ada yang dapat menggantikanmu, Sayang…”
Mata Fahmi terlihat berkaca-kaca.
Sejumlah kenangan lalu kembali mengusik hati kami bagai film dokumenter kisah kami yang tiba-tiba saja piksel demi piksel gambarnya bersemburat muncul membentuk ribuan frame di seluruh dinding museum. Tapi semua masalah itu telah berlalu. Putri tidak ingin membuka kembali lembaran itu. Tapi takdir ini nampaknya akan ia terima. Perjumpaan dengan Fahmi di Paris, di negeri yang sangat jauh dari Indonesia, seakan semua ini adalah bagian dari rencana-Nya. Dari relung hatinya, Putri sejujurnya ingin menerima Fahmi kembali. Namun apakah Fahmi akan menerimanya?
Beberapa waktu kemudian, mereka melangkah keluar dari museum. Mereka berhenti sejenak sekeluar dari museum.
“Putri, aku rasa pertemuan ini akan membuka kembali hubungan kita…” kata Fahmi sambil memegangi kedua pundak Putri.
Putri menghela nafas.
“Fahmi…Putri masih sayang sama Fahmi…”
Fahmi tersenyum. Kedua matanya berbinar terang.
“Aku juga masih sayang sama kamu Putri…Kau selalu bilang kepadaku bahwa selalu ada hikmah dibalik setiap peristiwa yang kita alami. Sejak kita berpisah, aku yakin bahwa kita akan bersama lagi tapi entah kapan. Orang tuaku pernah menjodohkan aku dengan wanita lain tapi aku tidak bisa, Putri. Aku masih teringat dirimu, Putri… Aku selalu berdoa agar suatu saat kita bersama lagi… “
Ia melepas kedua tangannya dari pundak Putri.
Agak lama mereka terdiam, sesaat mereka terasa membeku. Ia membuang pandangannya nun jauh di ujung jalan. Tapi tak ada pandangan di sana, kosong, dan kepala Putri tertunduk. Bisakah ia membuka kembali hubungannya dengan Fahmi? Sejak bertemu Fahmi beberapa jam lalu, cintanya kembali bersemi dan nampaknya akan segera berbunga lagi.
“Berapa lama kau akan di Paris?” tanya Fahmi
“Kurasa tiga hari lagi.” Jawab Putri
“Share PIN BBM-mu ya… Besok dan seterusnya aku akan menjadi personal tour guide-mu. Cutiku sebenarnya berakhir besok, tapi aku akan minta tambahan cuti ke atasanku…” kata Fahmi gembira.
Mereka tertawa dan melanjutkan perjalanan, menggali kenangan indah masa lalu yang akan mereka rajut kembali. Hari itu dan beberapa hari kemudian sepertinya akan membuka babak baru kehidupan Fahmi dan Putri yang seakan disatukan kembali di kota Paris.
***
Tiga bulan kemudian, Fahmi kembali ke Indonesia. Fahmi hendak melamar Putri! Ya, mereka akan segera melangsungkan pernikahan. Semuanya berlangsung begitu cepat dan Paris menjadi saksi bisu kembalinya api cinta mereka. Fahmi dan Putri akan segera bersanding di pelaminan dalam beberapa hari mendatang.
Putri masih belum percaya akan semua peristiwa yang ia lalui hingga akhirnya mereka bertemu kembali dan memutuskan untuk menikah. Baik ia dan Fahmi memutuskan untuk bersabar tanpa cinta selama sepuluh tahun hingga takdir mempertemukan mereka kembali.
Nampaknya, cinta akan kembali membawa mereka. Tidak hanya ke Paris. Namun ke tempat-tempat lainnya dengan bahtera cinta mereka , mengarungi samudera kehidupan yang luas ini… dan mereka akan berbahagia selamanya.
Sidoarjo, 04-05 April 2015
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (sertakan link akun Fiksiana Community)
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H