Sebagaimana kita ketahui bahwa sekarang ini wabah virus Corona sedang melanda negara China dan sejumlah negara lainnya. CNBC Indonesia mengabarkan bahwa jumlah warga yang terpapar virus ini sudah lebih dari 33 ribu orang di seluruh dunia. Lebih dari 700 orang tidak dapat bertahan dan meninggal dunia.
Wabah ini membuat pemerintah setempat luar biasa sibuk menangani ribuan pasien yang terkena virus Corona. Pemerintah Indonesia juga telah berupaya semaksimal mungkin mencegah masuknya virus Corona di wilayah Indonesia.
Bersamaan dengan wabah Corona itu, Indonesia juga sedang waspada dengan kemunculan Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue (DBD). Penyakit ini kerap muncul di musim hujan dan saat ini mereka sedang tumbuh subur.
Adalah virus DENV-1, DENV-2, DENV-3 atau DENV-4 yang menjadi biang keladi wabah DBD ini. Mereka numpang hidup apada sang pembawa virus yaitu nyamuk Aedes aegypti. Selain itu ada nyamuk Aedes albopictus atau Aedes polynesiensis. Masing-masing virus memiliki karakteristik sendiri tetapi semuanya membuat manusia menderita DBD. (sumber: ScienceDirect).
DBD kerap menyerang anak-anak, misalnya salah satu keponakan saya (kelas 4 SD) yang saat ini sedang terbaring lemah di sebuah rumah sakit. Ia positif menderita DBD. Tetapi orang dewasa juga tidak bisa luput dari penyakit ini, misalnya salah satu adik ipar saya yang terkena DBD di awal tahun 2019 lalu.
Sebelumnya adik ipar saya mengeluh demam tinggi yang tak berhenti terutama di kala malam, pusing, sekujur badannya lelah, perut mual, beberapa kali muntah. Seorang dokter umum menduga ia terkena penyakit tipes. Tapi kasus yang dialami keponakan saya, ia malah tidak mual atau muntah. Hanya badannya lemas.
Saya pernah membaca sebuah artikel dan bertanya-tanya juga kepada seorang dokter tentang DBD. Ternyata memang DBD jaman now lebih susah dideteksi. Kadang mirip dengan penyakit tipes atau demam tifoid. Padahal tipes disebabkan oleh bakteri Bakteri Salmonella typhii atau Salmonella paratyphii.
Diagnosa DBD sekarang ini baru bisa ditegakkan melalui pemeriksaan darah ke laboratorium klinik. Pemeriksaan darah lebih akurat. Dari situ dokter akan mengetahui seseorang positif menderita DBD sehingga dokter bisa memutuskan penanganan lebih lanjut.
Nah, diagnosa terhadap adik ipar saya itu akhirnya bisa ditegakkan setelah hasil pemeriksaan darah WIDAL dari laboratorium klinik keluar. Dari tes tersebut diketahui bahwa trombositnya sangat rendah, 15.000 saja. Padahal angka normal trombosit dalam darah adalah 150.000 hingga 450.000. Jadi ia harus segera dirawat di rumah sakit.
Prihatin membaca berita bahwa di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), dimana penderita DBD mencapai 903 orang (Kompas.com) dimana tiga orang diantaranya meninggal dunia (Kompas.com). Sementara itu Republika.co.id melaporkan bahwa sudah 12 orang yang meninggal dunia karena DBD di NTB. Di Tasikmalaya, Jawa Barat juga ada 45 orang terjangkit DBD dan satu orang meninggal, demikian informasi dari Kompas.com.
Sepertinya warga yang meninggal itu sudah dalam kondisi yang parah sehingga jiwanya tidak tertolong. Seorang dokter yang merawat adik ipar saya pernah berkata bahwa penderita DBD bisa mengalami pendarahan serius antara lain di gusi, BAB darah dan muntah darah.