Kadang dengan racikan bumbu tertentu yang menjurus ke fitnah yang membuat orang lain termakan omongannya. Parahnya, bila ia sosok yang populer, maka akan semakin banyak orang yang sepakat dengannya untuk membenci seseorang. Kadang terdapat efek dramatis yang membuat ia playing victim. Padahal pangkal permasalahan justru ada pada dirinya.
Saya pernah mengalami hal tersebut baik di lingkungan kerja maupun di lingkungan tempat tinggal saya. Hal itu saya rasa wajar-wajar saja. Saya sadar ketika saya memutuskan berhubungan atau berkomunikasi dengan orang lain , maka secara bersamaan pula saya juga menekan tombol "aktivasi potensi konflik".
***
Pada dasarnya, kita tidak bisa membuat semua orang senang kepada kita. Di lingkungan manapun kita berada, pasti ada minimal satu orang yang akan menjadi pembenci kita. Hal itu wajar. Menjadi tidak wajar ketika seseorang yang membenci kita ternyata menyimpan bara amarah, yang mendorongnya untuk memprovokasi orang lain untuk ikut-ikutan membenci diri kita.
Inilah saat dimana kita menerima ujian hati cukup berat dimana hanya diri kita yang memiliki kunci untuk menyikapinya. Kita hanya perlu memilih dua opsi, larut dalam situasi tersebut atau mengacuhkannya.
Apabila kita memilih opsi pertama yaitu larut dalam situasi yang dibuat oleh seseorang yang membenci kita atau keluarga kita, maka itu akan membuat kehidupan kita semakin terpuruk. Hati kita akan semakin sakit yang bakal merembet ke aspek psikologis (misalnya stres, depresi) dan fisik (misalnya menjadi sakit).
Kita tidak bisa menafikkan pendapat yang menyatakan bahwa kesehatan tubuh berawal dari suasana hati dan pikiran kita. Seseorang yang mengalami tekanan batin biasanya sulit makan dan minum.
Apabila stres semakin berkembang, maka akan memicu pergolakan di lambung, merangsangnya memuntahkan isi perutnya yang mungkin hanya sedikit atau kosong karena tidak terisi makanan. Karena tidak ada gizi yang diserap tubuh, kesehatan tubuh pun menurun, penyakit pun datang.
Lebih jauh, Anda bisa membaca artikel di Kompas.com yang berjudul "Mengapa Rasa Bahagia Membuat Tubuh Sehat?" atau artikel di Tribun News yang berjudul "Kendalikan, 90 Persen Penyakit Berasal dari Pikiran Anda". Menurut saya kedua artikel tersebut relevan dengan opsi pertama.
Memilih opsi kedua, yaitu mengacuhkannya, memang membuat kita menjadi orang yang merdeka. Bila orang lain membenci kita maka itu adalah masalah mereka, bukan masalah kita.
Misalnya apa yang terjadi pada diri saya atau keluarga saya. Beruntung saya orang yang cuek sehingga saya tidak memedulikan apa kata orang lain terhadap diri saya atau keluarga saya. Tetapi sesungguhnya saya memahami bahwa sebuah situasi sedang terjadi di sekitar diri atau keluarga saya.
Hal itu nampak pada perubahan sikap yang kemungkinan didasarkan pada sentimen negatif terhadap diri saya (dalam konteks tempat kerja) dan terhadap keluarga saya (dalam konteks lingkungan tempat tinggal) yang berawal dari suatu problem.