Maligar membuka mata dan menarik nafas panjang.
Ia menyadari dirinya tergeletak di atas hamparan padang rumput yang luas nan lebat. Ia telentang memandang langit biru dengan awan tipis yang melintas di atas sana.
Tubuhnya terasa kaku; ia merasa berat mengangkat kedua kakinya, juga berat mengangkat tangannya untuk sekedar menghalau seekor kupu-kupu yang terbang berputar-putar di atas wajahnya. Matahari yang bersinar tepat di atas kepalanya tidak benar-benar panas menyinar. Ia menoleh ke kanan.. Ke kiri.. Semua sama.. Batang-batang rumput yang lebat.
Ia tidak tahu dimana dia berada.Namun sepertinya ini bukan alam kematiannya.
Perlahan ia berusaha mengangkat kedua lututnya. Ia ambil setarik nafas panjang, dan..yah, bisa. Kini ia berusaha mengangkat punggungnya. Dengan susah payah ia mengumpulkan sisa-sisa tenaganya, Maligar mengangkat punggung dan kepalanya. Bagus, ia mampu duduk. Kini kepalanya sudah di atas pucuk-pucuk rumput. Ia menoleh ke sekeliling. Rumput dimana-mana. Rerumputan di situ seperti rumput ilalang namun dengan batang yang lebih lemas. Daunnya lebat dan rapat. Ketika tertiup angin, rerumputan itu bergerak gemulai berirama kesana kemari. Hamparan rumput itu sangat luas dan tingginya sama rata.
Maligar berusaha berdiri. Baju putihnya terkoyak di area lengan, perut dan punggungnya. Celana jeansnya juga kotor oleh tanah kering yang nampaknya melekat lama. Setelah berupaya dengan keras, yap… Maligar berhasil berdiri. Walau agak tertatih, pada akhirnya ia mampu berdiri tegak. Nafasnya agak tersengal. Matahari berangsur menyinar terang dan menyilaukan pandangan Maligar. Ia memutar pelan tubuhnya melihat sekelilingnya. Semuanya hanya rumput, rumput dan rumput. Sejauh mata memandang, ia tidak melihat pegunungan atau bukit. Bahkan satu pohon pun tidak nampak hingga jauh ke batas horison selebar 360 derajat nun jauh di sana. Sekelompok burung-burung terbang di atas sana membentuk segitiga. Maligar menyeka keringat di dahi dengan punggung tangannya. Ia melihat darah di punggung tangannya lalu meraba kalau ada luka di kepalanya. Tidak ada luka.
Maligar merasa tubuhnya seperti baru dikeroyok oleh pemuda-pemuda mabuk ujung gang yang pernah memalaknya dan mengeroyoknya ketika masih SMP. Ia dirawat di rumah sakit selama seminggu akibat pendarahan otak. Beruntung ia mampu bertahan dan melewati masa kritis. Meski sempat mengalami koma beberapa hari dan amnesia selama beberapa minggu lamanya, ingatannya kembali sempurna dan malah ia semakin cerdas. Sejak SMP dan SMA ia meraih ranking teratas, lalu nilai kelulusan SMP dan SMA tertinggi di propinsinya dan menembus Fakultas Kedokteran sebuah universitas ternama di Indonesia dan lulus dengan IPK sempurna nan menakjubkan: 4,00!
Ia mendapat tawaran beasiswa penuh di salah satu sekolah kedokteran bergengsi di sebuah universitas bergengsi di Amerika Serikat untuk menempuh studi spesialis obstetri dan ginekologi. Setelah lulus studi itu, ia melanjutkan studi spesialis di bidang onkologi. Maligar juga menjadi tim peneliti kanker kandungan di lembaga penelitian di kampusnya. Karya tulisnya ilmiahnya bertebaran di berbagai jurnal kedokteran terkemuka seperti Cancer Journal of Clinicians, New England Journal of Medicine, Nature Medicine, The Lancet. Di akhir pekan, ia bekerja di sebuah klinik kebidanan di wilayah Manhattan sebagai asisten dokter kandungan.
Maligar memutuskan berjalan ke arah… Hehh, ia bahkan tidak tahu arah mata angin. Ia berjalan dengan pelan dengan agak tertatih. Ia merasa letih, lapar dan haus. Tidak ada satupun pohon berbuah, pun telaga untuk ia seruput airnya untuk mengusir dahaga. Tapi, matahari nampak cerdas. Ketika Maligar merasa sangat kehausan, sinarnya menyurut. Ketika dahaganya hilang, matahari berangsur menyinar terang.
Rasanya sudah berjam-jam ia berjalan namun ia tidak menemukan apapun selain padang rumput luas. Tanah yang ia pijak juga datar. Benar-benar datar tanpa ada tanjakan atau turunan, tidak ada bukit, gunung atau lembah. Ia melihat bayangannya untuk melihat arah. Matahari yang bertengger di atas nampaknya tidak berubah posisi; tepat di posisi jam dua belas siang dan sejak tadi tidak bergeser sama sekali.
Sekian lama berjalan dengan homogenitas disekelilingnya, akhirnya ia melihat sebuah titik gelap di arah kanan tubuhnya. Masih jauh, tapi paling tidak mengobatinya setelah sekian lama pemandangan yang ia lihat hanyalah rumput, langit biru dan matahari yang kaku. Sesekali hewan yang sesaat muncul namun menghilang lagi..
Makin lama ia berjalan, titik itu makin nampak membesar. Makin jelas pula bentuknya. Seperti sebuah bangunan bulat berwarna coklat kemerahan. Maligar berjalan lebih cepat dan kadang diselingi dengan berlari kecil, berharap segera sampai ke bangunan itu. Meski sudah terlihat sebagai bangunan berbentuk bulat, ia masih saja belum sampai. Rasa penat yang amat sangat tidak mengurangi langkahnya. Pandangannya berkunang-kunang karena hipoglikemia. Walau lapar dan dahaga juga mendera, ia memiliki dorongan kuat ke sana, ke arah bangunan yang bulat sempurna.
Maligar berjalan tertatih dengan nafas tersengal seraya membayangkan manusia lain yang mungkin tinggal di dalam bangunan itu; berharap mereka memberinya air segar yang menyiram kerongkongannya, makanan yang mengenyangkan, ranjang yang empuk yang membuatnya nyaman untuk mengusir kepayahan hari ini.
Matahari masih saja tidak bergeming. Nampaknya sepanjang hari di tempat itu adalah siang. Tanpa pagi, sore atau malam. Maligar berpikir, jika tempat ini adalah planet, maka planet ini tidak berotasi dan tidak berevolusi. Atau mungkin ini adalah planet yang berbentuk bidang lembaran raksasa? Jika demikian, mengapa seakan tiada berbatas? Atau mungkin ini adalah planet di suatu galaksi yang orbitnya terkunci dan juga tak berotasi?
Bangunan bulat itu makin membesar seiring gerak langkah kaki Maligar... Membesar dan makin jelas dan akhirnya Maligar tiba kira-kira seratus meter di depan gedung itu. Wow.. Bangunan bulat yang sangat besar, layaknya bola raksasa setinggi kira-kira sepuluh lantai. Tidak ada pagar yang mengitari. Di area halaman rumah yang sebidang kotak, tanahnya berwarna merah. Kosong, tidak ada satu pun rumput yang tumbuh di situ, satu batangpun. Ia mengitari bangunan itu tapi ia tidak tahu bagaimana caranya masuk.
Angin bergerak lebih kencang kali ini, membuat rerumputan di luar halaman bangunan sempat roboh sebentar namun segera tegak dan bergoyang lagi. Maligar masih tertegun dengan bangunan bola raksasa di depannya. Bangunan apa ini? Berwarna coklat kemerahan seperti tembaga. Permukaannya halus namun tidak memantulkan cahaya matahari.
Tiba-tiba matahari meredupkan sinarnya dengan cepat dan kini gelap gulita. Maligar kebingungan dengan kegelapan pekat disekelilingnya. Nafasnya tersengal-sengal. Ia berusaha berteriak tapi pita suaranya seakan terkunci. Ia menangis, merasa putus asa dengan semua ini. Tapi ia tidak bisa menangis. seakan ada selaput kuat di sekitar mata yang membendung air matanya. Ia turunkan badannya, tepekur lunglai di atas kedua lututnya. Ia menunduk lesu dan berusaha mencabik-cabik rambutnya dengan kedua tangannya yang lemah.
Tidak lama, muncul bintik-bintik hitam putih seperti yang muncul di televisi tabung, tanpa suara. Nampaknya citra itu muncul di permukaan bangunan yang ada didepannya. Kini Maligar seakan berada di depan layar televisi raksasa yang layarnya melengkung agung.
Maligar perlahan menatap layar. Sekian lama menyemburatkan itu-itu saja, akhirnya munculah sosok wajah pria yang memenuhi layar. Pria tua itu berbaju putih dan berpenutup kepala berwarna putih yang nampak seperti kerudung. Sosoknya mirip Gandalf di film trilogi Lord of The Rings dan The Hobbit, bersahaja dan bijaksana. Kulit wajahnya yang walau nampak jelas berkerut, terlihat putih bersih bersinar dan rambut putihnya yang panjang menjurai rapi di belakang kepalanya tertutup penutup kepalanya. Kualitas layar raksasa itu mungkin setara atau melebihi layar ultra high definition terbaru sekalipun sampai-sampai gurat keriput sosok pria itu terlihat jelas.
Maligar masih termangu dengan pemandangan itu. Namun tidak lama sosok itu berbicara.
"Maligar.. Saya perlu bertemu denganmu.." Suaranya berat, parau dan menyiratkan irama kebijakan. Suaranya seakan keluar dari dari tata audio bioskop berteknologi Dolby Atmos atau Ultra AVX.
Maligar hendak mengatakan sesuatu namun pita suaranya rasanya membeku.
"Oh, kamu tidak bisa bicara? Baiklah, sekarang kamu bisa bicara.."
"Si..si..siapa kamu? Di.. dimana saya? Mengapa saya ada di sini?"
Sosok tua itu tersenyum: "Aku… Aku adalah engkau.."
Maligar mengernyitkan dahinya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak.. Tidak… Kau bukan aku.. A..aku tidak percaya!! Ini.. ini semua mimpi !! Ini semua mimpi!!!!"
Pria tua itu mendehem. "Maligar, aku adalah kau, tapi aku hidup jauh di masa depan dalam format yang… berbeda. Aku tidak bisa menjelaskan hal-hal teknis tentang diriku. Kau dikeroyok oleh sekelompok pria yang menyerangmu dan merampokmu. Aku pernah mengatakan bahwa sekali hantaman serius di kepalamu, itu akan membuatmu berubah. Aku mendatangimu ketika format tubuh fisikmu mengalami shutdown sementara, setelah mendapat pukulan pertama ketika kamu masih SMP..Aku rasa, kau tidak mendengarkan perkataanku waktu itu.. “
Maligar diam.
“Aku mengatakan kepadamu bahwa hantaman keras kedua di kepalamu akan membuatmu kembali ke keadaanmu yang dulu.. Dulu kau adalah lelaki remaja yang pendiam, tanpa teman, tidak cerdas dan tidak berdaya Gerombolan pemuda tanggung memukul kepalamu dan membuatmu... berubah. Kau makin tampan, makin cerdas, tubuhmu makin kuat... Semua orang melihatmu.. Dengan semua anugerah yang diberikan kepadamu, mengapa kamu melakukan hal yang tidak sesuai dengan formatmu? Mengapa Maligar? Jawab!!”
“A..apa yang aku lakukan?” tanya Maligar lirih.
Pria itu segera menyahut, “Kau melakukan banyak sekali aborsi..”
Maligar terkejut. Matanya menatap tajam ke arah layar.
“Kau bunuh janin-janin tidak berdosa. Kau mendapat uang banyak dan membuatmu kaya raya. Semua teman-temanmu tidak tahu apa yang kamu kerjakan.. Tapi aku tahu semua yang kau lakukan. Aku mengawasimu Maligar!”
“Kekayaan yang kau dapat dari praktik tak beretika itu membuatmu kalap.. Dan mereka mendatangimu ingin mencicipi hartamu dengan terlebih dahulu menyiksamu.. Menghantam kepalamu bertubi-tubi tanpa ampun, melumpuhkanmu dengan tembakan yang tepat mengiris saraf-saraf tulang belakangmu…Membuatmu lumpuh. Juga membuatku lumpuh…”
Maligar berteriak, "Kau bukan aku!! Tidak mungkin… Kau tidak berhak mengatur hidupku!! Kau bukan Tuhan ! Siapa kau sebenarnya, hehhh?"
Belum sempat sosok tua di layar menjawab, Maligar merasakan nyeri yang amat sangat di punggung dan dada kirinya. Ia berteriak sambil meremas dadanya dan berusaha mengatur nafasnya. Ia membungkukkan badannya menahan nyeri punggung dan dada dengan tangan kiri menahan badannya. Nyeri itu makin menjadi…
Zappp... Tiba-tiba layar raksasa itu lenyap. Meninggalkan Maligar seorang diri dalam kegelapan dan berjuang melawan nyeri. Ia memejamkan matanya kuat-kuat menahan nyeri. Nafasnya memburu tidak karuan, dan tiba-tiba...semuanya menjadi putih.
Ia membuka matanya dan menarik nafas panjang.
Ia merasakan tubuhnya sedang terbaring di sebuah ranjang. Pandangannya yang kabur perlahan makin jelas setelah beberapa kali kedipan. Setelah semua nampak jelas ia bisa mengetahui ia sedang berada di rumah sakit.
Ya, ia ingat semuanya. Beberapa waktu sebelumnya ketika dini hari ia pulang sendiri dari klinik dengan mengendarai mobil melintasi Brooklyn, ia dihadang oleh beberapa orang geng motor bersenjata. Ia dikeroyok, dipukuli kepalanya bertubi-tubi dan ditembak punggungnya oleh salah satu dari mereka ketika ia berusaha bangkit untuk lari. Mobil dan sejumlah besar uang tunai yang ia peroleh dari klinik dijarah. Ia ditinggalkan sendiri di tengah jalan. Menderita kesakitan yang amat sangat. Ia merasakan pening yang hebat dan melihat darah membanjiri bajunya sebelum terkulai tidak sadarkan diri.
Maligar melihat cermin lebar di sebelah kiri ranjangnya. Kepalanya dibalut perban tebal, Sebuah selang infus menembus tangan kirinya dan selang lainnya di tangan kanan. Ia merasakan mulutnya tertutup masker oksigen. Ia melirik ke bawah tubuhnya, bagian dada hingga perutnya tertutup perban tebal. Ada bercak darah di dada.
Tiba-tiba pintu terbuka dengan paksa. Seorang wanita masuk dengan terburu-buru dan menatapnya, lalu cepat-cepat ia melangkah kembali keluar ruangan itu.
"He's awake... Doctor Axel, Doctor… Doctor Maligar is awake..!" serunya di luar. Seseorang berbaju hijau masuk ke ruangan tempat Maligar dirawat, disusul oleh beberapa orang dibelakangnya.
Setiap orang tersenyum kepada Maligar.
Seorang berbaju operasi hijau itu berjalan mendekat ke arahnya, menyapanya dalam bahasa Inggris.
"Hai Dokter Maligar, Saya Dokter Axel Brooks. selamat datang kembali.. Anda ada di rumah sakit New York Presbyterian. Anda baru saja melewati masa kritis. Selamat ya.." dokter Chris tersenyum dan mengangsurkan tangan kanannya. Tapi Maligar tidak bisa mengangkat tangan kanannya. Ia hanya bisa mengerang. Dokter Axel tersenyum kepadanya seraya mengucapkan: "Selamat Tahun Baru Dokter Maligar", dan segera keluar ruangan.
Samar-samar ia mendengar bisikan orang-orang yang berbaris keluar dari kamar ia dirawat: "Wah, Dokter Maligar peneliti yang hebat itu ya?" "Ada apa dengannya?" "Apakah dia akan baik-baik saja?" Ia mendengar suara dokter Axel memberikan sejumlah instruksi. Namun ia juga mendengar suara yang menyebutkan tentang kondisi tetraplegia yang ia alami…
Maligar sendiri di kamar itu dengan lampu yang temaram. Ia melihat kalender digital di dinding. Tanggal 31 Desember 2014. Ia menatap jam dinding yang menunjuk ke angka dua belas. Lalu berpindah ke arah jendela di samping kanannya.
Hari telah malam.. Malam tahun baru. Cahaya lampu-lampu membalut tubuh gedung-gedung jangkung di New York. Sesekali di kejauhan sana suara terompet dan riuh rendah pekikan menyambut tahun baru 2015 terdengar samar.
Maligar menatap lama ke luar jendela yang dihinggapi titik-titik salju. Ia mengingat apa yang ia alami beberapa waktu lalu. Lalu ingatannya merambah ke masa lalunya dimana selain ketenaran akademis, ia juga dikenal sebagai dokter yang bersedia melakukan aborsi terhadap janin-janin yang tidak diinginkan. Sudah ratusan orang ia layani dalam praktek gelap yang ia lakukan tanpa seorang kolegapun tahu.
Maligar masih menatap jendela. Kali ini pandangannya kosong.
Jika ia bisa memutar waktu ke masa lalu, Ia ingin menetapkan hati untuk berubah di awal tahun 2015. Namun semuanya terlambat… Nampaknya fisiknya akan lumpuh selamanya.
Ia memejamkan kedua matanya dan mengijinkan air matanya mengalir deras selama beberapa saat, hingga ia tertidur pulas.
Sidoarjo dan Surabaya, 07-08 Maret 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H