Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sekali Lagi, Mohon Antri!

1 Desember 2014   06:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:23 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini saya mampir ke suatu stand kue pagi di Sidoarjo untuk membeli nasi bungkus dan kue untuk sarapan. Setelah saya memilih nasi bungkus dan kue, saya menuju ke kasir dan masuk ke antrian. Di depan saya ada dua orang yang dengan sabar mengantri masing-masing membawa nampan yang penuh berisi penuh nasi bungkus dan kue.

Hampir tiba giliran saya, tiba-tiba ada seorang pria yang meletakkan nampan berisi sejumlah nasi bungkus ke meja sebelah meja kasir. Rupanya ada gelagat hendak menyerobot antrian dengan meletakkan nampannya di meja sebelah kasir. Waktu itu di area kasir ada dua orang petugas wanita, satu sebagai petugas kasir dan rekan di sebelahnya sedang sibuk membungkus paket kue pesanan pelanggan. Petugas lainnya juga sibuk di area belakang kasir membungkus kue-kue pesanan. Oleh petugas yang sedang membungkus paket kue, nampan pria tersebut diletakkan di meja kasir seraya mengatakan sesuatu kepada rekannya, petugas kasir, yang saya tangkap maksudnya supaya pria itu dilayani terlebih dahulu.

Bersamaan dengan itu, saya juga meletakkan nampan saya di meja kasir. Petugas kasir sempat merasa bingung mau melayani siapa dulu. Lalu saya melihat ia bermaksud mengambil nampan pria penyerobot itu. Sebelum ia mengambil nampan pria itu, seketika saya berkata bahwa saya yg lebih dahulu datang ke kasir. Petugas kasir lalu  mengambil nampan saya. Tapi anehnya dan sungguh mengejutkan, petugas kasir dan petugas sebelah kasir mengatakan sesuatu ke pria penyerobot itu: "Tidak apa ya Pak.." lalu si pria mengatakan: "Oh gapapa gapapa.."

Saya terkejut, bagaimana mungkin petugas kasir dan rekannya mengatakan itu ke pria penyerobot di sebelah saya sehingga seolah sayalah yang bersalah. Padahal saya telah berada di antrian yg benar sementara pria penyerobot itu langsung menuju meja sebelah kasir yang bukan meja kasir; dan malah dilayani oleh petugasnya. Saya paham dengan konsep pelanggan adalah raja. Tapi dari sudut pandang saya, apakah saya juga dianggap sebagai raja? Seandainya dia pejabat atau tokoh terkenal pun, apa peduli saya? Antri tetap antri, dan petugas toko atau petugas apapun yang melayani pelanggan atau customer-nya seharusnya bertindak fair dalam melayani.

[caption id="attachment_379480" align="aligncenter" width="300" caption="Mengantri. Masih susah di Indonesia."][/caption]

Pengalaman lain ketika saya mampir ke suatu chain store di Surabaya untuk membeli minuman kemasan dan roti. Di perjalanan pulang kantor, saya merasa lapar dan sangat haus karena didera kemacetan petang hari. Setelah mengambil dua item makanan dan minuman, saya mengantri di depan kasir. Hampir tiba giliran saya, tiba-tiba seorang wanita muda menyerobot ke kasir dengan membawa satu item minuman dan berdiri dengan santainya di depan saya. Yang saya sayangkan, petugas kasir yang kebetulan wanita malah menerima customer wanita penyerobot itu.

Saya hampir saja menegur namun saya berusaha sabar karena biasanya teguran saya akan terucap dengan nada tinggi dimana tidak setiap orang bisa menerima teguran saya. Apalagi dia seorang wanita. Saya hanya mengelus dada saja seraya berprasangka baik kalau wanita muda itu mungkin kondisinya lebih parah daripada saya. Mungkin dia sangat amat kehausan banget hingga harus menyerobot antrian.

Satu contoh lagi pernah saya alami kirakira belasan tahun lalu di loket stasiun KA Senen Jakarta. Saya mengantri di loket pembelian langsung tiket KA kelas ekonomi untuk perjalanan petang hari. Waktu itu belum ada pembelian tiket secara online. Antrian tiket KA begitu panjangnya hingga mengular keluar ke teras stasiun. Saya sudah berdiri di antrian yang benar yang ternyata sudah panjang berkelok. Tiba-tiba sekelompok pria datang membuat antrian baru dengan berdiri di bagian tengah antrian saya sehingga antrian bercabang menjadi dua di tengah baris antrian. Dengan cepatnya antrian para pengacau itu bertambah sehingga antrian menjadi seperti garpu tala, satu garis di depan dan bercabang mulai tengah ke belakang. Hal ini lantas menyebabkan kegaduhan yang luar biasa sehingga petugas berseragam keamanan bertindak.

Anehnya, petugas keamanan itu malah menghardik dan mengusir kami yang sudah sedari siang mengantri dengan benar. Malah petugas tersebut menyuruh kami pindah posisi mengantri di belakang barisan antrian pengacau tadi. Saya spontan berteriak kepada petugas tersebut bahwa kami telah mengantri di antrian yang benar. Tapi petugas malah berteriak lebih kencang bersikeras menyuruh kami pindah, kali ini sambil megacungkan tongkat pemukul. Melihat action dari petugas tersebut, saya dan pengantri lain di barisan saya menjadi ciut nyali dan mengalah mengikuti perintah petugas tersebut. Dengan hati dongkol kami menyambung antrian di belakang para pengacau itu. Saya melihat senyum lebar beberapa pengantri pengacau itu. Marah, geram, dendam sontak membanjiri hati. Bagaimana mungkin petugas bertindak demikian dan seakan tutup mata dengan mereka yang jelas mengacau antrian? Saya dan pengantri lain yg merasa benar memilih tidak memperpanjang masalah, pasrah dan berdoa semoga masih ada tempat duduk di kereta. Akhirnya saya mendapatkan satu kursi di gerbong belakang. Kini syukurlah pelayanan tiket KA sudah sangat berubah dan tidak ada lagi kisah pahit antrian panjang.

Saya kira sebagian dari Anda pernah mengalami hal yang serupa dengan pengalaman saya. Pernah mengalami atau melihat sendiri sebagian orang memilih untuk tidak tertib dengan menyerobot antrian. Perasaan yang muncul bisa bermacam-macam, tapi umumnya merasa sebal dengan para penyerobot antrian. Namun kadang pada satu waktu, antrian yang tidak tertib justru timbul karena petugas antrian yang bertindak tidak sportif dan diskriminatif atau pilih kasih terhadap sebagian orang yang jelas menyerobot antrian.

Persoalan tentang ngantri ini memang sepele. Namun disinilah tanggung jawab petugas yang melayani antrian yang ternyata tidak selalu menyepakati konsep antrian yang seharusnya sudah menjadi suatu “konsensus” yang tidak dijelaskan secara tertulis.

Mungkin inilah salah satu potret watak manusia Indonesia. Betapa sebagian dari mereka menginginkan hal yang instan tanpa mau bersusah payah mengikuti proses untuk mencapai tujuan. Proses ngantri misalnya. Bahkan hal tentang susahnya orang Indonesia ngantri ini kabarnya menjadi salah satu karakter masyarakat Indonesia yang cukup terkenal di luar negeri disamping ngaret.

Persoalan menyerobot antrian yang nyata terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia ini pada satu sisi membuat kita dipandang masih primitif ( sebut saja begitu, karena budaya antri adalah salah satu karakteristik masyarakat berperadaban), namun di sisi lain pembangunan infrastruktur, sumber daya manusia dan layanan publik kita makin meningkat pesat. Seharusnya dengan kondisi demikian, mindset ngantri harus dipahami dan disepakati sebagai kesadaran kolektif yang secara langsung akan menumbuhkan karakter positif pada lingkup masyarakat dan lebih jauh lagi dapat membetuk karakter bangsa yang berbudaya dan beradab.

Contohlah warga Jepang yang kekonsistenannya terhadap budaya ngantri membuat mereka menjadi teladan bagi bangsa lain di dunia. Ketika terjadi gempa tahun 2011 lalu, para korban gempa membentuk antrian yang tertib untuk memperoleh jatah makanan dan minuman. Tidak ada yang merasa ingin didahulukan karena masing-masing individu telah memiliki kesadaran kolektif tentang ngantri. Meskipun ngantri itu melelahkan, mereka harus melakukannya. Mereka juga tidak khawatir bakal tidak mendapatkan jatah makanan dan minuman karena pemerintah setempat menjamin bahwa semua korban akan mendapatkan bantuan makanan, minuman dan kebutuhan lainnya.

Australia juga peduli pada pengajaran masalah ngantri kepada semua siswa daripada pengajaran matematika. Menurut salah seorang guru yang pendapatnya tersebar di berbagai blog, tidak semua siswa kelak akan menjadi seorang ahli matematika. Mereka bisa menjadi atlit olimpiade, guru, pilot ataupun profesi lainnya. Mengajarkan siswa tentang ngantri selama sekira 12 tahun akan memberikan pemahaman moral dan etika seumur hidup mereka di setiap profesi yang mereka pilih. Saya sangat sepakat.

Ngantri memang sepele. Apalagi kita melakukannya dengan tertib. Masalah terjadi ketika ada penyerobotan antrian, apalagi jika sampai didukung oleh petugas yang seharusnya bertugas mengawasi antrian tetap terjaga dengan tertib. Pemahaman tentang ngantri ini seharusnya sampai ke setiap individu. Karena secara tidak langsung, akan merambat hingga ke karakter dan watak bangsa sehingga pembangunan bangsa menjadi sempurna pada baik pembangunan infrastruktur dan layanan publik yang diimbangi dengan pembangunan sumber daya manusianya yang selain terampil dalam masing-masing keahliannya juga memiliki moral dan etika, salah satunya dengan budaya mengantri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun